Sejak kepulanganku dari Yoyakarta, aku belum bicara dengan Ayah dan Ibu. Aku juga belum keluar rumah sebulan ini, belum bertemu dengan teman-temanku. Karena perkuliahan masih di masa libur semester, me time di rumah jadi penambah energi buatku.
Soal impian, aku hanya berbagi pada satu orang yang paling berkesan buatku. Kami punya tempat rahasia. Tempat dimana kami bisa saling berbagi cerita dan saling beradu nasib. Tempat yang sepi di siang hari dan akan ramai kalau malam hari. Apalagi malam minggu dan dia mengajakku bertemu hari ini.
Tempat rahasia kami memiliki bangunan yang nggak terlalu luas, bertingkat tiga, dan bernuansa minimalis dengan sentuhan interior bercat putih polos. Dinding di lantai satu dihiasi dengan ukiran kayu peta Indonesia dan wayang kulit. Ada juga rak tanaman di dekat konter pemesanan. Ini tempat ngopi favorit kami dan aku sedang bersamanya sekarang. Dia berjalan kearahku sembari membawa minuman yang kami pesan.
"Udah sebulan semenjak lo balik dari Yogya dan kita belum ngobrol. Sekarang gimana? Udah nemuin yang dicari?"
Pemuda itu bertanya sambil berjalan mendekati kursi yang kami duduki. Ia berikan salah satu paper glasss berisi kopi panas yang ada di tangannya. "Cappucino," katanya.
Aku mengamitnya. "Makasih."
Ada yang berbeda darinya. Dia terlihat lebih santai hari ini. Hanya memakai kaos hitam dan levis panjang, jam tangan hitam di lengan kirinya, dan dilengkapi sepatu kets putih kesukaannya.
Pemuda itu duduk di hadapanku. "Mencari emang nggak ada salahnya, tapi lo harus ingat, kita hidup di dunia ini nggak sepenuhnya soal mencari. Menemukan hal yang kita suka juga nggak gampang." Pemuda itu menghentikan ucapannya sejenak, menyesap kopinya yang mulai hangat. "Do what you want, kalo lo merasa harus ngelakuin hal itu, just do it, yang penting lo senang ngelakuinnya. Dari sana lo bakal nemuin hal yang selama ini lo cari. Gue percaya lo bisa," ujarnya menyemangatiku.
Aku diam. Terdengar klise memang bagiku, tapi benar juga yang dia bilang.
"Gue harus meditasi gitu? Merenung, mikirin hal-hal yang gue suka selama ini, ubah fokus gue dari senter yang selama ini gue target. Gitu, maksud lo?" tanyaku memastikan.
Pemuda itu menggangguk. "Lo suka foto kan? Orang kalo mau foto pasti butuh tenang kan? Tenang, fokus, pastiin semuanya oke, baru jepret. Gitu kan? Nah, sekarang ini, menurut gue sih lo mesti begitu."
Dia menyesap kembali kopi miliknya yang kini sudah nggak berasap.
Aku paham. Aku suka analoginya. Kadang aku jadi punya pandangan baru tentang banyak hal yang belum terpikirkan olehku sebelumnya. Dia sangat open minded dan itu membuatku nyaman bicara dengannya. Dia seperti lensa kacamataku. Dia selalu membantuku melihat lebih jelas dan membuatku berani meluaskan pandangan dari segala sudut berbeda.
Aku mengerti. Kali ini dia nggak mau bikin aku hilang tenaga demi membahagiakan orang lain, menyenangkan hati orang lain, mewujudkan ekspektasi orang lain, tapi lupa membahagiakan diriku sendiri.
"Kapan mau diminum? Keburu dingin."
Hah, ucapannya itu membuyarkan imajiku.
Ya, ini sudah dingin. Sama seperti hatiku, yang selalu dingin sebelum bertemu dengannya.
"Lo sendiri gimana? Udah nemuin orang yang dicari-cari selama ini?" tanyaku.
Dia menghela napas berat, kemudian menyesap kopinya hingga tandas. Lalu menggelengkan kepalanya. "Menurut lo, gue harus mulai dari mana?"
Aku mengangkat kedua bahuku. "Lo selalu kasih pandangan yang beda ke gue, tapi keliatannya hidup lo jauh lebih berat," kataku menimpali pertanyaannya tadi.
Pemuda itu tertawa hampir memenuhi ruang kedai cokelat ini. "Siapa bilang? Sok tahu."
"Gak usah gengsi," tukasku. "Menurut gue nih, lo tuh aneh. Kenapa sih, kok lo bisa naksir orang yang lo sendiri nggak tahu dia siapa, dia gimana, bahkan mukanya aja lo nggak tahu."
Pemuda itu menyengir saja sambil mengangkat kedua bahunya. Namanya Mahaka. Hanya satu kata, membuat setiap orang mudah mengingatnya. Terutama mengingat wajahnya.Bagiku pemuda itu hampir bisa ditemui di seluruh bagian Jakarta. Bisa dibilang Mahaka ini ambis. Dia terlalu aktif di organisasi, luring maupun daring. Di kampus, dia aktif jadi moderator seluruh acara kampus, mulai dari webinar sampai seminar. Di komunitas, dia aktif jadi fasilitator self-esteem anak-anak kolong jembatan. Belum lagi di komunitas bikers, setiap weekend bilangan Jakarta Sudirman-Thamrin jadi lokasi tongkrongan Mahaka dan kawan-kawannya.
Mahaka bukan teman masa kecilku. Dia juga bukan teman sekolahku, mau itu SD, SMP, ataupun SMA. Dia juga nggak satu kampus denganku. Aku kenal Mahaka dari platform online surat-menyurat, usianya tujuh bulan lebih dewasa dariku. Penyiar Radio adalah cita-citanya, tetapi orang tua Mahaka menginginkan dia menjadi Pengacara. Nasib yang nggak jauh berbeda denganku; penuh ekspektasi yang ditaruh di pundak kami.
Pertama kali aku bertemu Mahaka di sebuah acara kampus. Dia mewakili fakultas di kampusnya; Ilmu Komunikasi. Mungkin itu sebabnya, semua hal yang dia ucapkan padaku selalu terkesan benar dan nyaman. Dia selalu bisa membaca situasi dan pendengar terbaik yang kupunya saat ini. Nggak jarang kadang pembicaraannya mengajakku berpikir tentang teori-teori yang lahir dari Hippocrates, Socrates, Plato, maupun Aristoteles. Ada satu teori yang sering dia analogikan kalau kami sedang chit-chat berdiskusi tentang masalah hidup yang kami hadapi. Stoikisme. Gara-gara Mahaka aku jadi paham, kalau aku nggak semestinya berusaha mngendalikan segala hal yang terjadi di luar kendaliku. Aku menyukai pemikiran dan pandangannya tentang hidup ini.
Sejauh ini, baru dia satu-satunya yang mampu memenuhi jawaban dari setiap pertanyaan kegelisahanku. Aku, nggak mau kehilangan Mahaka. Aku, nggak mau pikiranku mati tanpa berdiskusi dengannya.
"Gak usah terlalu keras sama diri sendiri, hati lo juga butuh perhatian. Istirahat yang cukup, kasihan badan sama otak kalo dipaksa kerja terus," ujarnya membuyarkan pandanganku lagi, dia benar-benar seolah tahu isi kepalaku. Kutinggikan sudut bibir kananku. Rasanya agak pahit mendengar ucapannya barusan.
"Kenapa?" Dia tertawa. "Benar yang gue bilang?" tanya pemuda itu meyakinkan.
Aku menggeleng. "Kenapa lo peduli banget sih sama gue?"
"Ya, karena lo teman gue lah. Apa lagi?" jawabnya cepat.
Aku mengganggukkan kepala beberapa kali.
"Art, lo mau bantu gue cari si lensalimalima nggak?"
Aku diam sejenak. Sudah kuduga kalau akhirnya dia akan meminta bantuanku. Aku sih mau saja, tapi gimana caranya? Sedangkan orang yang dia cari-cari ada di hadapannya saat ini."Dasar aneh! Lo kan ngikutin akun medsos-nya, kenapa nggak langsung lo DM aja?"
Dia menggeleng cepat. "Nggak, nggak! Terlalu mainstream cara kayak gitu."
Sebetulnya aku penasaran, sangat penasaran kenapa Mahaka pengin banget kenalan sama si lensalimalima. Apa dia sefanatik itu kalau sudah nge-fans? "Ya udah gini aja, nanti kalo dia lagi ada event di mana gitu, gue temenin lo ketemu dia. Tapi kalo ternyata dia cowok gimana?"
Bola matanya yang sempat berbinar jadi sedikit menyipit dan dahinya mengerut. "Kayaknya cewek deh, puisi-puisinya melankolis ala-ala cewek gitu."
"Seyakin itu?" tanyaku.
Dia menganggukkan kepala. "Iya."
Sejujurnya, saat ini aku berharap ekspresiku terlihat biasa saja di hadapan Mahaka. Namun, setelah mendengar ucapannya itu, aku kan jadi salah tingkah, dapat pujian langsung begini. Aku membenarkan posisi kacamataku, kuharap dia nggak sadar kalau aku sangat gugup.
Dia menarik lenganku. "Udah mau malem nih. Ayo, balik!" ujarnya.
***
Barangkali kita pernah sama-sama
Merasa jenuh dan bimbang pada suasana
Mencari kenyamanan jati diri
Mengoreksi pemikiran kita sendiri
Setiap kali menemukan hal baru
Selalu diriku yang berbagi padamu
Akan terkoreksi oleh kalimatmu
Akan terpatri dalam pikiranku
Maka itu, aku selalu bahagia
Jika selalu bersama denganmu
*lensalimalima
Ting!
Mahaka liked your story.
Mahaka tagged you in his story.
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM OF ME [ILUSI]
ChickLitArtis Levenali, anak kedua dari tiga bersaudara. Sukanya motret dan nulis puisi, kuliah Manajemen buat nurutin orang tua demi jadi penerus galeri lukis dan jadi tameng biar hobinya nggak ketahuan Ayah. Bagi Mahaka (cowok kenalan Artis di aplikasi su...