"Kamu tahu seberapa skeptisnya pikiranmu? Apa kamu pernah tanya gimana perasaanku?"
Jalan berdua sama Mahaka kayak gini, jujur saja selalu bikin aku deg-deg-an. Pasalnya, sekarang Mahaka mulai melakukan hal-hal di luar dugaan dan dia melakukannya tiba-tiba. Contohnya hari ini, tiba-tiba bersikap sok manis, padahal sebelumnya dia selalu terlihat serius, bijak. Apa motivasi Mahaka jadi perhatian kayak sekarang? Padahal kemarin setelah memberikan buku itu padaku, dia langsung pergi gitu aja. Sekarang malah seperti nggak terjadi apa-apa. Aku juga ragu kalau mau membahas soal buku itu. Mungkin dia juga sudah tahu dari berita yang beredar belakangan ini.
"Waktu itu kebetulan ada yang nongkrong di pojok sana, makanya gue bikin puisi soal hujan dan kopi gayo itu," kataku pada Mahaka saat kami tiba di Jalan Melawai.
Mahaka menganggukkan kepala. "Kali aja lo bisa seberuntung waktu itu," ucapnya sambil mengacak rambutku asal.
Tuh kan! Lagi-lagi mulai rese. Dia benar-benar tak sadar ya kalau aku lagi blushing gini?
For your information, I'm not ok right now. Sebetulnya, aku masih kepikiran sama Rimba yang tiba-tiba nggak acuh denganku hari ini. Bahkan dia nggak merespon apa pun tentang kekacauan yang terjadi dan menimpa galeri. Dia justru dengan penuh percaya diri menunjukkan kesiapan dirinya sebagai Mahesa. Kalau sudah begini, harusnya aku bisa dapatkan yang aku mau. Ayah dan Ibu nggak perlu pusing lagi soal galeri, toh Rimba sudah mulai mendapat perhatian publik.
"Kita minum kopi aja gimana? Di warung tenda sana," ucap Mahaka seraya menunjukkan warung tenda yang berjajar di salah satu area Jalan Melawai.
Aku menganggukkan kepala. "Cappucino, ya."
"I know you so well," jawab Mahaka seraya menunjukkan baris giginya dengan sudut bibir yang meninggi. Kemudian mengangkat sebelah tangannya memanggil pemilik warung untuk memesan.
"Did you know, Art ... I'm shocking 'till now. I didn't ever think, if you would write all of these." Mahaka menunjukkan layar ponselnya padaku, menampilkan akun instagram lensalimalima.
Mendengarnya bicara seperti itu sambil menunjukkan senyumnya padaku, jelas membuatku tersenyum juga. "Emang kenapa sama puisi-puisi itu?" tanyaku setelah Ibu Penjual mengantarkan kopi panas kami. Aku menyesapnya kemudian.
"Yang gue nggak habis pikir, orang itu niat banget bikin ilustrasi buat puisi-puisi lo," ujar Mahaka yang kini masih menatap layar ponselnya. Mungkin masih menelisik akun instagram lensalimalima. Entahlah, aku nggak bisa menerawang apa yang sedang dilihatnya dari posisiku ini. Namun, aku penasaran dengan satu hal.
"Pertanyaannya adalah, kenapa lo bisa punya buku itu? Coba ceritain."
Menit berikutnya Mahaka meletakkan ponselnya dan menatapku. "Cuma nemu di sekitaran basecamp anak-anak seni yang kayaknya jatuh," ucapnya dan kembali mengelus rambutku pelan. Kedua matanya berbinar, menjalarkan rasa senang yang tanpa basa-basi langsung menyergap hatiku. Aku kenal tatapan itu, bola mata yang sering kali membuatku tenang.
Tapi, buat apa Mahaka ke sana?
"Ngapain lo ke sana? Ada yang dicari? Cewek kenalan?" ejekku agar dia nggak curiga bagaimana perasaanku sekarang ini yang sedang kalut dan super deg-deg-an.
Mahaka menyesap kopinya yang hampir dingin. "Lebih tepatnya waktu kita gagal ketemu itu, gue sengaja milih jalur lewatin basecamp anak seni, yang gue denger-denger, lo suka di situ, and it surprised me! Gue malah nemuin buku misterius dan gue nggak sangka, ternyata si pemilik buku itu murid bokap lo."
Aku menganggukkan kepala dan bingung. Jujur saja, aku nggak tahu kalimat apa yang tepat buat merespons ucapan Mahaka barusan. Aku nggak bisa tahu gimana isi hatinya yang sebenarnya. Apa dia cemburu? Aku pun bahkan nggak tahu apa dia punya perasaan seperti perasaanku padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM OF ME [ILUSI]
ChickLitArtis Levenali, anak kedua dari tiga bersaudara. Sukanya motret dan nulis puisi, kuliah Manajemen buat nurutin orang tua demi jadi penerus galeri lukis dan jadi tameng biar hobinya nggak ketahuan Ayah. Bagi Mahaka (cowok kenalan Artis di aplikasi su...