Niat keberangkatanku ke Yogya, tentu saja untuk menemukan jalan supaya aku bisa mewujudkan hal yang aku impikan, cita-citaku, sebagai penulis puisi dan motret. Karena di sini, telah melahirkan seniman dari berbagai bidang. Sebetulnya, datang ke sini juga bisa jadi kesempatanku ketemu Yeremy Lavenila—si bungsu. Tapi buat apa? Selama ini, dia juga nggak pernah ada kabar. Di rumah itu, rasanya seperti aku ini anak tunggal. Sekalipun aku nggak pernah mendapat kabar dari saudara-saudaraku.
Beberapa hari yang lalu Mahaka bertanya tentang apa yang kutemukan di Kota Pelajar itu. Dengan penuh percaya diri dia bersikap bijak—seperti biasanya. Sampai hari ini, aku masih ingat semua yang dia ucapkan padaku. Buatku, Mahaka itu jimat. Dia selalu tahu isi pikiranku, dia tahu isi hatiku. Kalau dia sudah bicara, aku nggak pernah ragu lagi. Kalau dia nggak ada, aku kayaknya bakal hilang arah.
Namun, hari ini—setelah satu bulan aku kembali dari perjalananku—entah kenapa rasanya ada yang aneh. Apa mungkin akan datang badai? Atau, Jakarta akan diguyur salju? Perasaanku kali ini lebih resah daripada hari-hari kemarin. Perasaan gundah ini justru membawa ingatanku kembali saat aku menyendiri di Candi Ratu Boko.
Angin berembus kencang, tampak mobil-mobil roda enam—truk, roda empat, dan kendaraan roda dua lainnya mondar-mandir melewati pesawahan di bawah sana. Kuembuskan napasku perlahan, kupejamkan kedua mataku. Terdengar musik gambang kromong dari bukit ini. Sekali lagi, angin menyapaku sebentar. Tentram.
Kubuka kedua mataku, potret lahan hijau yang bersanding dengan indahnya langit biru langsung tersirat dalam memori. Para petani yang jauh di sana tampak mencangkul lahan, cerobong pabrik yang mengembuskan asap dari kejauhan, serta pekik suara orang-orang yang berada di sekitarku.
Aku dengar burung gereja malu-malu bersiul
Menghinggapi dedaunan dan rumput hijau
Sambil bernyanyi,
Menggoda sepasang kekasih yang tengah bermesra
Di bawah pondok bambu, di Bukit Ratu Boko itu
Aku tertegun pada irama melodi lagu Keane (Somewhere Only We Know)
Membawaku pada sosok dirimu yang tertawa lepas
Di atas meja bundar dengan uap kopi yang menguar
Kamu bercerita penuh ambisi bebas
Sementara detak jantungku masih juga belum kamu dengar
Jika saja saat itu aku bilang padamu, "ada yang salah dengan hatiku."
Apa kamu akan bertanya, "kenapa?"
Kalau aku ungkap isi hatiku padamu, "aku sudah lama menyimpan itu."
Apa kamu akan bertanya, "kenapa?"
*lensalimalima
Ting...
1 pesan diterima
Jelek banget kan? Kurang-kurangin nonton film gak guna (film horor)
Satu pesan masuk yang berhasil membuyarkan pikiranku.
Pemuda kurang kerjaan itu hidup lagi dari mati surinya. Setelah sekian lama mati dari aktivitasnya—melukis dan motret, kini datang lagi mengusik ketenanganku. Oh, rupanya ini jawaban dari perasaan resahku tadi. Begitu sial memang. Entah dari mana dia mendapatkan fotoku dalam pose sangat kacau begini, yang jelas ingin sekali kubalas tingkahnya sekarang juga.
Rimba.
Rasanya, pertemuanku dengan Rimba sekarang hanyalah permainan takdir—bukan yang pertama kali. Dia kakak kelasku di bangku SMP dan hanya dua kali bertemu di ekstrakulikuler PMR. Saat perkenalan anggota waktu itu, dia dengan lantang bilang kalau dia pengin jadi Dokter, makanya dia pilih ekskul PMR. Namun, setelah ekskul pertemuan pertama—ikat tandu, perban luka, dan kasih pertolongan pertama—pertemuan berikutnya Rimba nggak terlihat lagi. Kudengar dia pindah dan gabung ke ekskul Seni Lukis. Sejak itu kami nggak bertemu, sampai akhirnya aku bertemu dengannya lagi saat aku bergabung di komunitas fotografi. Sekarang dia satu tingkat di atasku sebagai Mahasiswa Fakultas Seni Rupa.
Ketemu nanti, gue iket tangan dan kaki lo pake tandu
1 pesan terkirim.
"Kenapa lo senyam-senyum sendiri?" tanya Myisha—kawan sekelasku.
Aku terkekeh padanya. "Biasalah, si Anak Hutan—"
"Rimba maksud lo?" tanya gadis berhijab itu.
Myisha memang paling tahu soal "si Anak Hutan". Hubunganku dengan Myisha bisa dibilang lebih dari sekadar teman. Kami berteman sejak masa putih abu-abu dan kini aku menjadi partner-nya menjalankan bisnis sebagai fotografer produk miliknya.
"Siapa lagi emangnya yang punya otak somplak, absurd, dan tingkah semena-mena selain dia?!" ujarku.
Gadis itu tertawa setelah mendengar celotehku. "Wah, ada bau-bau benih bucin nih!" serunya.
"Amit-amit!" Tentu saja segera kupatahkan ucapannya itu. Biar mimpi ditiban uang satu miliar pun aku ogah bucin sama Rimba.
"Udah sana, siapin produk yang mau difoto," pintaku pada gadis itu.
"Oke, Beb ... oke!" gadis itu melenggang menyiapkan setelan tunic dan hijab model terbaru miliknya.
***
Malamku, setiap hari selalu sama. Hanya ditemani Mbak Yanti—tukang masak yang tinggal di rumah kami. Agak menyedihkan, kadang-kadang aku merasa seperti nggak punya keluarga. Di sisi lain, aku selalu punya waktu buat bikin puisi atau sekadar upload hasil fotoku di blog.
Oh iya, tadi pagi Mahaka kirim pesan. Dia kayaknya senang banget sama postingan puisi terbaru dari lensalimalima. Sebegitu excited-nya pemuda berambut ikal itu, sampai-sampai isi pesannya penuh emot bunga-bunga. "Pengin gue kirimin bunga deh," katanya.
Aku bimbang. Apakah sebaiknya kukatakan saja soal identitas lensalimalima? Seseorang yang telah lama bersembunyi di balik hiruk pikuknya patah hati pembaca, seseorang yang berdiam di antara jatuh bangunnya cinta dari orang-orang yang meninggalkan jejak sebagai pembaca, seseorang yang bersembunyi dari pahitnya kehidupan yang dijalani sendiri.
Kita-kira gimana ya ekspresi dan tanggapan Mahaka kalau tahu si lensalimalima itu aku?
Ting
1 pesan diterima
Gue tunggu di selasar laboratorium ekonomi
Wah, benar-benar ajaib! Orang yang lagi aku pikirin ini kirim pesan. Tumben juga dia ke kampusku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM OF ME [ILUSI]
ChickLitArtis Levenali, anak kedua dari tiga bersaudara. Sukanya motret dan nulis puisi, kuliah Manajemen buat nurutin orang tua demi jadi penerus galeri lukis dan jadi tameng biar hobinya nggak ketahuan Ayah. Bagi Mahaka (cowok kenalan Artis di aplikasi su...