Saat ini Ayah dan Ibu sudah berada di hadapanku. Mereka duduk di sofa seberangku dengan begitu santainya, bahkan Ayah masih menyilangkan kakinya seraya membaca surat kabar, sedangkan Ibu mendaratkan tubuhnya setelah menaruh secangkir teh panas di meja. Kelihatannya sofa terasa empuk dan nyaman sekali bagi mereka, namun bagiku terasa seperti duduk di atas sumbu dengan api yang membara.
Menit-menit telah berlalu, namun belum juga Ayah dan Ibu mengeluarkan suaranya.
"Jadi, Ayah dan Ibu punya rencana apa?" tanyaku.
"Makasih tehnya, Bu," ucap Ayah, kemudian menyesap teh di hadapannya. Ayah memang egois, beliau mendahulukan keinginannya ketimbang menjawab pertanyaanku yang sepertinya nggak sulit buat mereka jawab.
"Cepatlah katakan, Ayah bertindak barusan seolah aku ini nggak penting."
Pria paruh baya itu masih asik dengan surat kabar di tangannya. "Kamu ini nggak sabaran, Art. Kamu harus mengatur emosimu. Kamu tahu, saat kamu tenang kamu bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi sekarang."
Kata orang-orang yang baru bertemu Ayah atau bahkan yang telah menjadi mitanya bertahun-tahun bilang, ayahku itu seseorang yang bijaksana dan kepala keluarga yang bertanggung jawab. Seandaianya mereka tahu bagaimana dia mengatur dan mendidik anak-anaknya, dugaanku mereka akan kecewa padanya.
Kuembuskan napasku berat. "Aku emang nggak sabaran. Emosiku emang akan selalu berantakan tiap kali kita bahas soal yang nggak pernah ada ujungnya ini. Ayah kan nggak pernah dengar permintaanku, jadi buat apa juga aku masuk permainan Ayah."
Pria paruh baya itu masih saja sibuk dengan surat kabar di tangannya. Akan tetapi, tak lama kemudian ia menyodorkanku surat kabar itu.
"Ini rencana kami," ucapnya.
Aku mengambil surat kabar yang Ayah tunjukkan padaku. Kubaca headline halaman itu.
Sial!
"Kami ingin mengajarkanmu supaya bisa mengendalikan emosi dan berpikir cermat," ucap Ibu yang berhasil membuatku terperangah mendengarnya.
Ayah kini mengubah posisi duduknya. Ia nggak lagi menyilangkan kakinya, melainkan duduk bersandar dengan kedua tangan bersedekap di dada. "Sekarang pilihanmu cuma dua, bawa pulang abangmu dan jadikan dia pemilik galeri, beli kembali saham Rinja. Atau-"
"Apa?" sergapku.
Ayah menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu memang benar-benar nggak sabaran."
"Kalau pilihan keduanya dengan aku yang menggantikan abang, aku nggak mau. Sejak dulu aku udah bilang, lebih baik aku keluar dari rumah ini daripada harus nuruti semua yang kalian mau. Harus berapa kali aku bilang, aku nggak suka seni lukis, Ayah. Aku nggak suka melukis. Aku punya banyak hal yang mau aku lakuin dan aku bisa lakuin itu. Aku cuma mau bahagia dengan caraku sendiri."
"Kamu tetap memilih motret daripada melukis?" tanya Ayah dengan menekankan kalimatnya.
Aku bergeming. Menimang-nimang sejenak jawaban mana yang nggak terlalu merugikanku.
"Agar adil, aku ingin dengar apa pilihan kedua yang Ayah dan Ibu tawarkan?"
Ayah mengembuskan napasnya pelan, kemudian menyesap kembali tehnya yang mulai dingin. "Seperti dugaanmu, Ayah ingin kamu mengurus galeri, kuasai kembali saham yang dimiliki Rinja. Terserah dengan cara apa kamu kudeta dia. Saat ini, keuangan kita sedang nggak baik, Art. Rinja membantu kita dengan suntikan dana yang dia berikan. Kalau kamu memang nggak terima Rinja menjadi CEO galeri kita, maka bawa pulang abangmu atau kamu yang menggantikan peran dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM OF ME [ILUSI]
ChickLitArtis Levenali, anak kedua dari tiga bersaudara. Sukanya motret dan nulis puisi, kuliah Manajemen buat nurutin orang tua demi jadi penerus galeri lukis dan jadi tameng biar hobinya nggak ketahuan Ayah. Bagi Mahaka (cowok kenalan Artis di aplikasi su...