Bab 5. Dalih

169 29 8
                                    

Di sinilah aku sekarang. Di meja makan, seorang diri, ditemani laptop, dan cicit burung gereja di jendela samping kanan rumah. Aku suka duduk di sini. Susananya berhasil menetralisir pikiran dan mood yang sedang kuhadapi sekarang. Ayunan putih itu, masih kokoh menghiasi taman belakang rumah. Dulu waktu kecil, aku selalu bermain di sana bersama Ayah dan Ibu. Aku pun masih ingat bagaimana menyenangkannya hari itu. Hah ... kangen juga rasanya masa-masa di mana Ayah dan Ibu nggak menuntut kami mengurus galeri. Masih kupandangi layar laptop yang belum juga tersambung panggilan.

Klik

Layar dekstop berganti. Apa yang kubayangkan tadi soal ayunan putih, kini tampak di hadapanku. Lukisanku saat usia tujuh tahun. Seorang gadis duduk tertawa di atas pijakan ayunan putih. Ayah dan ibunya duduk di kursi ayunan. Mereka tertawa bersama. Itu lukisan pertamaku. Abstrak, berantakkan, tapi Ayah selalu bilang lukisanku lumayan bagus dan aku berbakat.

Layar platform teleconference kembali kubuka, menghubungi kembali dua orang yang aku perlukan konfirmasi.

"Halo, Art ... maaf Ayah terlambat menjawab, ada rapat yang nggak bisa Ayah tinggal, kamu mengerti kan?"

Alasan yang sama setiap kali menjawab panggilan telepon, membalas pesan singkat, surel, maupun panggilan video seperti sekarang ini. Bosan aku mendengarnya. "Ya, ya ... aku tahu. Ayah adalah orang paling sibuk sekeluarga Rahardjo."

Pria paruh baya itu tertawa di ujung sana. "Ayah rasa ini menyangkut Rinja, kamu nggak akan menghubungi kami berdua berkali-kali kalau bukan soal pemuda itu. Benar bukan?"

Belum juga kujawab, sudah muncul wajah cantik wanita yang menurunkan kecantikannya pada adikku, Yemy.  "Ayolah, percaya pada ayahmu. Ayah nggak akan ambil keputusan yang salah. Ibu tahu, ini pasti soal galeri dan kamu nggak terima dengan keputusan ini. Kalau tebakan Ibu benar, mungkin kita harus negosiasi lagi. Bukan begitu Ayah?"

"Tentu!" seru ayahku di sana.

"Omong kosong! Dari dulu Ayah dan Ibu nggak pernah ngerti aku, nggak pernah ngeti Bang Okta dan Yemy. Kalian ini egois!" Aku mengembuskan napas berat. "Sudahlah, aku tunggu kalian di rumah."

Tut.

Sial! Aku pikir ucapan Rinja benar tentang aku yang nggak akan terusik lagi dan bisa mewujudkan impianku. Kenyataannya, ini memang rencana Ayah dan Ibu yang menarikku masuk dalam permainan. Kupikir aku tinggal duduk saja, menikmati popcorn dan cola, menjadi penonton yang duduk di salah satu kursi merah dalam sebuah studio. Nyatanya, ini jebakan buatku.

***

Ngomong-ngomong, aku merasa bersalah sama Mahaka. Dia sekalipun nggak pernah hilang kalau aku butuh. Sekarang ini, aku malah belum menemuinya sejak kemarin, bahkan seluruh pesannya belum satupun kubalas. Lagipula ada apa sih kemarin dia mengajak bertemu? Biasanya tiba-tiba sudah di depan fakultasku kalau ada perlu.

Apa jangan-jangan dia sudah tahu soal lensalimalima? Sebaiknya kutemui langsung saja.

Hari ini gue mau ketemu Myisha, ada barang yang mau difoto, produk baru. Kalau bisa ketemu hari ini, susul gue di studio Myisha ya.

1 pesan terkirim.

***

Myisha, kawanku sejak masa SMA. Gadis itu sangat hobi menggambar. Dulu dia punya buku tulis khusus yang digunakan untuk merilis ide fashion yang ada di kepalanya. Anak itu imajinatif. Dia pernah bilang, kalau dia pengin jadi orang kaya supaya bisa bawa produknya ke luar negeri. Padahal menurutku harapannya itu sudah dikabulkan Tuhan sejak dulu, ayahnya Dokter, ibunya Dosen, kalau Myisha perlu modal bisa langsung bilang ke orang tuanya.

Well, sayangnya Myisha bukan gadis seperti itu. Inilah kenapa hubungan kami masih terjaga sampai sekarang, simbiosis mutualisme kami panjang umur, seperti slogan untuk orang-orang yang selalu berbuat baik.

"Art!"

Dia melambaikan tangan, menyambutku dengan senyum sumringah khas dirinya. Mempersilakan untuk duduk dan memberikan sebotol air mineral kesukaanku. Studionya selalu rapi dah bersih. Memang, sifat 'cinta kebersihan' itu sudah melekat dalam dirinya.

"Seneng banget lo ketemu gue," ujarku sembari duduk di sofa dan membuka botol mineral yang diberikan Myisha.

Dia menyeringai. "Sialan lo," katanya.

Aku meneguk air botol kemasan itu sebelum mengedarkan pandangan ke sekitar. Gadis itu tampak hilir mudik menyiapkan studionya. "Mana sepupu lo?" tanyaku.

"Hm? Oh, lagi ganti baju."

Aku menganggukkan kepala.

Myisha. Aku ingin seperti dia. Berhasil di jalan yang ia pilih. Hidupnya nggak mudah, perjuangannya lumayan berat buat orang-orang yang lebih betah dalam kesunyian. Myisha justru terjun sendiri mengurusi bisnisnya. Bertemu klien, survei bahan baku, supervisi proses produksi, rekrut pegawai, jalan ke sana-sini ketemu investor, promosi di acara-acara formal maupun informal, dan lain sebagainya.

"Gimana kabar lo sama Rimba?" tanpa permisi gadis itu mempertanyakan hal yang nggak sekalipun aku duga.

Dahiku mengerut sekilas. "Kabar apa nih? Kabar angin atau kabar yang lain?"

Aku melirik ke arah Myisha. Dia sudah duduk di hadapanku kini. "Lo beneran nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Atau ... emang nggak mau tahu?"

Aku kembali menautkan kedua alisku. Apa sih maksudnya Myisha ini?

"Jadi, lo benar-benar nggak tahu? Nggak paham sama pertanyaan gue?" tanya gadis itu menginspeksi.

Aku menggelengkan kepala. "Maksud lo apa sih?"

Anehnya, bukan menjawab pertanyaanku, Myisha justru bertepuk tangan dan berseru, "wah, daebak! Lo bener-bener keterlaluan sih, Art. Gue ulang ya, kabar lo sama Rimba gimana? Kan kemarin abis ketemu tuh, jalan bareng, masa nggak ada apa-apa. Lo ngerti maksud gue kan? Atau, emang nggak mau tahu?"

Oh jadi itu maksudnya. Tanpa sadar aku sedikit tergelak sambil kuletakkan botol mineral yang sejak tadi kupegang. "Pilihan yang terakhir kayaknya menarik."

Temanku itu tiba-tiba diam, melirik curiga padaku.

"Kenapa?" Aku mengerutkan dahi sembari meninggikan sudut bibirku.

Aku bisa lihat Myisha mulai kesal. "Emang sialan lo, Art."

Aku mengerti, Myisha menanyakan tentang bagaimana hubunganku dengan Rimba. Dia tahu Rimba kembaran mantanku yang brengsek itu. Makanya, dia menaruh curiga padaku, pikirnya aku dan Rimba bakalan saling suka seperti skenario yang ada di kepalanya itu. Tapi Myisha memanglah Myisha, dengan cemooh "sialan lo, Art" andalannya itu, berhasil bikinku terhibur. Kami pun tertawa terbahak-bahak.

"Gais, gue udah siap nih," ujar seseorang dari balik punggungku.

***

Laut biru di angkasa tiada bercerita

Napas buana tiada tutur gemetar

Bisik angin hilir mudik tiada menyapa

Debur ombak Kaimana tiada memberi kabar

Sunyi....

Apa aku telah mati?

Bising suara manusia tiada samar kudengar

Hanya pekat di hadapan terasa memancar


*lensalimalima

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang