Bab 20. Wherever You Are

249 27 21
                                    

Satu tahun kemudian

Hari keempat belas di bulan Juni. Aku baru saja membuka kedua mata saat sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela dengan gorden yang sedikit tersingkap. Meregangkan otot di pagi hari, rasanya sangat melegakan. Kuhirup oksigen dalam-dalam, kemudian kuembuskan perlahan.

Bagaimana kabar Yemy? Aku terus berharap sampai hari ini, dia akan baik-baik saja. Satu tahun lalu aku meninggalkannya saat dia masih tertidur. Hanya salam perpisahan melalui surat yang kutinggalkan di kamar. Yemy pasti berusaha mencari tahu keberadaanku.

"Ohayō, Nari-chan." [Pagi, Nali.]

Gadis itu tersenyum dengan kedua lesung pipinya di sudut kedua bibir, menghiasi paras cantiknya. Dia memanggilku Nali, karena katanya ... cukup sulit untuk memanggilku Art.

"Ohayō, Hinatsu-chan. Anata no doko e ikimasu ka." [Pagi, Hinatsu. Kamu mau ke mana?"]

Hinatsu yang sudah berpakaian rapi, berjalan ke arah lemari dan mengeluarkan beberapa peralatan seperti kamera, gulungan kanvas, dan berbagai cat air serta kuas. "Artisans Kitakamakura e ikimasu." [Aku mau ke Artisans Kitakamakura.]

"Dekimasu ka." [Bisakah aku?]

"Nani?" [Apa?]

"Watashi wa ikimasu!" seruku antusias. [Aku mau ikut!]

Hinatsu melihatku, dahinya mengerut beberapa detik. "Hontōni?" [Beneran?]

Aku menganggukkan kepalaku cepat dan beranjak dari kasur untuk bersiap-siap.

***

Satu tahun tinggal di Fujisawa membuatku sedikit lebih mengenal budaya dan kehidupan sosial warga Jepang. Sejuknya Fujisawa bisa kurasakan tiap pagi membuka mata. Kerlap-kerlip Tokyo juga sudah melekat dalam memori.

Betah.
Mungkin hanya kata itu yang tepat kusebutkan untuk mewakili perasaanku kali ini. Jepang sangat memberikan banyak kesan untukku. Kedisiplinan, loyalitas. Aku mempelajari itu semua di sini. Mungkin, aku memang sangat menyukai negara ini karena film-film yang aku ikuti. Mungkin juga karena sedikit jiwaku seirama dengan ritme kehiduan di sini.

Bebas.
Itulah yang kurasakan. Aku bebas melakukan apa pun tanpa harus dipaksa melakukan sesuatu yang nggak aku suka.

Melukis?
Ya, aku melakukannya. Setiap sore, menjelang matahari terbenam. Aku selalu pergi ke Pantai Kugenuma untuk memotret indahnya senja, kemudian melukisnya. Arata Nari, itulah namaku kali ini. Nama khusus untuk setiap lukisan yang kubuat.

Artisans Kitakamakura, adalah salah satu museum tempatku mengirimkan lukisan yang kubuat. Beberapa lukisanku berhasil masuk ke museum itu berkat kompetisi yang kuikuti tahun lalu. Salah satunya, tentang seorang gadis yang rela menyambut akhir kehidupannya di hadapan matahari yang akan tenggelam.

Matahari.
Orang-orang Jepang sangat menghormatinya, maka itu para juri memilih lukisanku sebagai salah satu yang layak masuk ke museum meskipun bukan sebagai pemenang kompetisi.
Omong-omong, sampai hari ini nggak ada satupun dari keluargaku yang menghubungi. Sekalipun itu Yemy. Aku nggak mau memikirkan bagaimana kesulitan yang dia hadapi, yang aku yakini Yemy jauh lebih tangguh dariku. Dia sudah banyak mempelajari pola Ayah dari pengalaman Bang Okta dan aku. Maka, menurut dan nggak banyak menuntut adalah cara yang dia pakai. Semoga si bungsu itu baik-baik saja. Begitu juga dengan Bang Okta dan keluarganya.

Myisha.
Sampai kemarin dia masih menghubungiku. Nggak ada satupun kabar darinya yang aku lewatkan. Bahkan bulan lalu, kami pun bertemu di Tokyo saat dia berhasil bawa inovasi produk terbarunya buat ekspansi di sini. Myisha benar-benar mewujudkan impiannya. Dia datang ke sini bersama timnya. Myisha bilang kalau impiannya itu terwujud karena kliennya yang berwarga negara Jepang memberikan suntikan dana yang cukup besar. Katanya, investornya itu sangat suka dengan originalitas desain yang dirancang Myisha dan timnya. Aku bangga! Meski kayaknya aku bakal pensiun jadi fotografer produknya. Hahaha. Aku yakin Myisha pasti sudah punya fotografer yang lebih andal.

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang