Kemarin Mahaka memberiku buku catatan berinisial M-1H319-4, yang kelihatannya kode si pemilik buku. Kalau aku tebak-tebak, mungkin jawabannya "Mahesa", tapi siapa ya? Isi dari buku ini, ilustasi dari setiap puisi-puisiku dan Mahaka menemukannya di area Fakultas Seni Rupa. Tapi jelas sekali ini bukan punyaku. Apa di kampus ini ada yang mengikuti lensalimalima? Apa sebaiknya kutanya pada Rimba saja? Mungkin dia bisa bantu aku cari si pemilik buku ini. Duh, di tengah desakan Ayah begini, masih sempat-sempatnya saja sih muncul masalah begini.
Oh iya, akan lebih baik kalau kuabaikan sementara buku ini. Bukankah yang penting sekarang adalah gimana caranya aku bisa kudeta Rinja? Aku harus unggah dan jual foto-foto hasil protretku.
Setelah tigapuluh menit kuhabiskan waktu untuk mengunggah hasil potretku, kurebahkan tubuhku di kasur tercinta. Sampai saat ini Bang Okta maupun Yemy belum menghubungiku, apa mereka masih hidup? Lama-lama aku jadi berpikir, kalau mungkin saja mereka sudah nggak ada di dunia ini. Karena nggak mungkin 'kan mereka nggak tahu kalau aku lagi kesulitan begini? Di saat berita di teve dan koran sudah mengabarkan soal Hutan Galeri.
Hah ... tapi ngomong-ngomong, siapa ya Mahesa? Nggak mungkin 'kan kalau aku sampai harus buat sayembara di kampus demi menemukan identitas Mahesa ini.
Tut....
1 panggilan masuk
"Halo."
"Di mana?"
"Di rumah, kenapa?"
Panggilan terputus.
Loh kok, dimatiin teleponnya? Lama-lama Rimba jadi nggak jelas begini sih. Ah, lebih baik aku tidur siang, kayaknya ampuh jadi obat penat kepala. Tarik napas, hembuskan. Satu, dua ... tok tok tok
Yap! Baru saja kupejamkan mata, pintu rumah terdengar diketuk dengan keras. Berisik sekali!
Dengan malas aku pun keluar kamar menuju pintu dan membukanya.
"Rimba? Ngapain ke sini?"
"Penting. Lo harus ikut gue sekarang." Rimba meraih lenganku dengan cepat dan menarikku agar ikut berjalan.
"Kemana? Ih, gue nggak mau, gue mau boci!" tukasku sembari melepaskan genggaman tangannya di lenganku. Namun, baru saja beberapa langkah untuk kembali masuk ke dalam rumah, Rimba sudah menarik lenganku lagi.
"Nggak bisa, lo harus ikut gue sekarang!"
Kalau diperhatikan, lama-lama Rimba jadi dominan begini seperti Ayah. "Huh, yaudah. Lo tunggu di sini sebentar, gue ambil ponsel sama kamera dulu."
Setelah mendapatkan barang-barangku, aku pun berjalan mengekori Rimba menuju kendaraannya.
"Kita mau ke mana?"
"Nonton konser jazz sekaligus lihat pameran di Galeri kenalan gue."
Aku suka musik Jazz. Diantara Pop, Rock, Grunge, Jazz, Dangdut, Metal, R&B, Reggae, EDM, dan lain sebagainya, Jazz selalu jadi nomor satu untuk urusan selera musikku, baru setelah itu Grunge, Rock, kemudian Pop.
Aku lupa bagaimana dia bisa tahu musik kesukaanku itu, yang aku ingat sejak kami bertemu lagi di komunitas fotografi, Rimba sering mengajakku menyaksikan acara musik jazz ataupun sekadar mengirimkan lagu-lagu jazz klasik dari Cristian Scott, Xavier Davis, ataupun Jay McShann yang berjudul Blue and Sentimental. Rimba paling suka yang satu itu— Blue and Sentimental. Jawaban yang paling memungkinkan adalah Rinja. Mungkin dulu Rinja sering curhat tentangku ke Rimba, itulah kenapa Rimba tahu selera musikku.
"Salah satu lukisan gue kepilih buat pameran hari ini," ucapnya.
"Wah, bagus dong!"
Mungkin di mata Rimba, saat ini wajahku tampak terbelalak. Pemuda itu menggelengkan kepalanya seraya berkata, "jelek banget muka lo barusan."
Memang sialan si Rimba ini, dari dulu sukanya mengejek. Tapi, biarlah. Sekarang ini aku penasaran bagaimana caranya dia bisa terpilih di pameran bergengsi itu!
"Lo pasti tahu apa yang gue pikirin kan?" tanyaku pada pemuda yang tengah fokus mengendarai kendaraan.
Kedua mata Rimba menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan jalan dari kaca spion. Sejenak dia melirik ke arahku sebelum akhirnya berkata, "supaya lo tahu, nama gue bukan Rimba di duna lukis dan kali ini gue pakai nama sandi buat pameran di sana."
Sejak dulu aku paham, Rimba memang pemuda yang bergerak atas kemauannya sendiri. Apa pun persoalan yang dia hadapi, selagi hal itu masuk dalam logikanya, maka dia akan meyakini sesuatu itu pasti berhasil di tangannya.
Optimis. Bebas. Yakin. Itulah Rimba.
Sangat jauh berbanding terbalik denganku yang sampai hari ini masih harus berperang demi mewujudkan impiannya sendiri. Terkadang, aku juga bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku cukup egois kalau aku memaksanakan keinginanku ini terwujud? Apakah aku bisa bahagia kalau aku meninggalkan duniaku demi Ayah dan Ibu? Atau, apakah sebetulnya memang ini takdirku? Menjadi anak Ayah dan Ibu dan meneruskan bisnis galeri milik mereka?
Seperti sebuah bait yang pernah kutulis. "...kalau kita peka, setiap kejadian adalah klu atas setiap pertanyaan."
***
Suara berdecit bisa kudengar saat Rimba memarkirkan kendaraannya.
Dia pun mengajakku untuk mengikuti arah langkahnya. Tampak sebuah bangunan sederhana yang dikelilingi pepohonan. Aku bisa lihat, beberapa pahat membentuk wajah seseorang menghiasi dinding sekitar. Di salah satu sudutnya, sebuah patung berpakaian belanda, berdiri tegak memegang senjata.
Jarak dari gerbang masuk menuju pintu utama pameran cukup dekat, hanya dua ratus meter. Sepanjang itu pula, kumanfaatkan lensa kamera untuk memotret wajah ceria dan cengkarama orang-orang di bawah rindangnya pepohonan, di antara makna wujud-wujud nggak bernyawa. Rimba, pemuda ini lagi-lagi membawaku lebih dekat pada hal yang kusuka.
Dulu, waktu di bangku SMP Rimba-lah yang membuatku mengenali diriku sendiri—fotografi. Kini, dia membawaku ke sini.
Cekrek!
Aku menoleh, dia tersenyum memandang kamera di tangannya. "Jangan lihat," katanya.
Aku hanya bisa tersenyum. Jelas saja aku tahu apa maksudnya, dia akan membuat lukisan nanti dari hasil foto yang baru saja dia jepret. Aku bisa tebak, dia akan melukis diriku di dalamnya.
"Apa senyam-senyum? Gak usah ge-er," katanya.
Dasar Rimba, tanpa dia bilang pun aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan nanti.
"Ayolah, gue udah tahu lo gimana dari jaman SMP," sanggaku.
"Ayo masuk!" serunya.
***
Lukisan Rimba berhasil aku temukan di barisan tengah. Bertema "Surgawi", aku nggak paham apa maksudnya, yang jelas aku hanya tahu kalau lukisan itu menggambarkan seorang wanita nggak berpakaian yang seluruh tubuhnya penuh telapak tangan menjamahinya.
Liar sekali memang idenya, jangan tanya dari mana dia mendapat ide itu, hanya Tuhan dan angin malam yang tahu isi kepala Rimba saat melukis itu. Pasti.
"Suka nggak?" suara itu terdengar dekat diikuti suara langkah kaki yang makin mendekat.
Kuanggukkan kepala seraya berkata, "Idenya liar."
Rimba berdiri di sampingku. "Well, this is me! I've been painting with love and freedome to create something that you and other people would love. Jangan diprotes, itu bagus tahu," ucapnya.
Nggak heran sih, aku juga maklum kalau lukisan Rimba yang seperti ini berhasil lolos pameran. Abstraksi, penuh makna tersirat, dan hanya diketahui oleh mereka yang paham. Aku takjub dengan pencapaiannya kali ini.
Aku menepuk bahunya. "Gue selalu percaya lo hebat and thanks lo udah mau terbuka sama gue soal ini," balasku seraya tersenyum padanya.
Ting
1 pesan diterima
Sudah menemukan jawaban? – Mahaka
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM OF ME [ILUSI]
ChickLitArtis Levenali, anak kedua dari tiga bersaudara. Sukanya motret dan nulis puisi, kuliah Manajemen buat nurutin orang tua demi jadi penerus galeri lukis dan jadi tameng biar hobinya nggak ketahuan Ayah. Bagi Mahaka (cowok kenalan Artis di aplikasi su...