Bab 4. Hutan Galeri

196 30 6
                                    

Saat aku tengah bertanya-tanya tentang apa yang akan dilakukan oleh Mahaka, tiba-tiba saja nama si Anak Hutan muncul di layar ponselku. Kenapa juga dia telepon mendadak gini?

"Ya, ada apa?"

Suara bising di ujung sana hampir menelan ucapan Rimba. Aku masih mendengarnya meski samar-samar. Kata-kata yang tersapu angin itu berhasil membuat langkahku terhenti. Aku nggak tahu bagaimana rupa wajahku kini. Hal yang disampaikan Rimba, itu agak mengejutkan dan berhasil membawaku sekilas kembali pada kenangan empat tahun lalu.

Hanya sebentar, pemuda itu telah memutus panggilan telepon. Kupercepat langkahku. Aku harus tiba sesegera mungkin ke tempat itu. Ini benar-benar mendadak, aku belum ada persiapan menghadapinya. Lagipula, bukankah dia dan istri skandalnya sudah bahagia di Bali sana? Buat apa lagi dia datang ke sini. Sial!

Mahaka, maaf gue ada urusan mendadak. Kita ketemu besok ya.

1 pesan terkirim.

Dua puluh satu tahun aku hidup, lelah hampir nggak pernah kurasakan. Kalau aku ingat-ingat, terakhir kali aku melontarkan kata "capek" rasanya sudah lama sekali. Bahkan aku nggak ingat waktu pastinya.

Selama ini kupikir, aku sudah cukup dewasa untuk menuruti keinginan orang tuaku. Ternyata belum cukup bagi mereka. Anak tetaplah anak bagi orang tuanya.

"Pak, tolong ke Hutan Galeri, Kemang."

Bapak supir menganggukkan kepala, menarik laju kendaraan.

Apa lagi yang bakal terjadi sekarang? Kejadian kayak gini nggak baru sekali menimpa kami. Tapi, kenapa instingku berbisik kalau kali ini situasinya memaksaku buat nurutin semua yang bakal terjadi. Kalau kedatangan si brengsek itu hanya untuk menuruti tujuan orang tuaku, silakan saja, aku nggak akan mengusik. Tapi kalau kedatangannya untuk mengganggu ketenangan hidupku, maka terpaksa, aku harus buat perhitungan dengan Ayah.

Di sepanjang perjalanan menuju Hutan Galeri, Mahaka terus mengirimiku pesan dan bertanya ada apa, apa ada hal bahaya, apa ada yang mengancamku, apa ada sesuatu yang menimpa keluargaku. Anehnya, aku justru menyunggingkan kedua sudut bibirku ketika membaca seluruh pesannya bagai petasan beruntun ini. Tindakannya selalu di luar ekspektasiku. Dia benar-benar jimatku.

Ting

1 pesan diterima

081xxxxxx

Good to see you again, Beib

Orang ini? Sialan!

***

Gedung ber-layout nyentrik yang ada di hadapanku ini masih berdiri kokoh dan nggak ada yang berubah sejak terakhir kali aku datang ke sini lima tahun lalu. Sekarang rencana apa yang dia bawa sampai datang lagi ke sini. Bahkan, di sekelilingku banyak orang-orang be-jas berdatangan dengan sukacita memasuki gedung itu.

"Hoi! Ayo, masuk."

Aku terperanjat dan menoleh ke sebelah kiri. Ternyata Rimba. Entah sejak kapan dia sudah ada di sampingku dan kini mengulurkan tangannya untuk kugenggam. Mengajakku memasuki galeri.

"Nggak usah tegang, ada gue. Apa yang terjadi hari ini, di sini, nggak akan ganggu dunia lo. Oke? Betewe, gimana kabar lo? Kita satu kampus, tapi gue hampir nggak pernah lihat lo di mana-mana," ujarnya menghiburku.

Jujur aku merasa tenang dengan kedatangan Rimba di sini. Ucapannya barusan juga meringankan beban di hatiku. Tapi, di ujung perkataannya tadi agak menyebalkan sih.

Aku mendengus. "Fakultas lo ada di mana, fakultas gue ada di mana. Ngapain juga gue main-main ke sana."

Aku bisa dengar gelak tawanya saat ini dan dia pun berkata, "aku di sini dan kau di sana, kita memandang langit yang sama." Dia tertawa lagi. "Nggak usah ngibul, gue denger-denger dari Myisha, katanya lo sering main ke Fakultas Seni Rupa."

Apa katanya barusan? Myisha? Rimba ngobrol sama Myisha?

"Sejak kapan lo dekat sama Myisha? Kan tuh anak jarang mau ngobrol sama cowok," sergapku dengan dahi mengerut.

"Dia klien gue dulu," ucapnya.

Aku ber-oh ria. Ternyata begini-begini si Rimba mau juga mengambil projek-an fashion, muslimah pula.

Kami pun tiba di hall Hutan GaleriBak menghadiri acara penobatan kerajaan, bapak-bapak ber-jas, ibu-ibu sosialita, mereka tampak berbincang dengan mata berbinar-binar dan gelak tawa yang bisa menutupi suara tamu undangan lainnya. Sebagian dari mereka tampak berjalan menghampiri lukisan yang satu ke yang lain, berdiam menilai detil lukisan yang dipamerkan, berbincang dengan pasangan masing-masing merencanakan pembelian.

Kuedarkan pandanganku dengan dada yang begitu berdebar. Aku memang tidak ingin menjadi pelukis dan mengurus galeri ini seperti keinginan Ayah dan Ibu. Tapi, bukan berarti aku nggak acuh dengan galeri. Suasana galeri yang seperti ini, tentu membuatku bangga. Ini sangat menakjubkan. Aku ingin sekali memotret suasana yang seperti ini. Memotret lukisan-lukisan itu bersama mereka yang tengah tertawa atau sekadar bicara. Ini menyenangkan.

Baru saja aku berniat memotret dengan kamera ponsel, namun sepasang suami-istri itu menutupi objek yang sedang kubidik. Rimba yang paham dengan perubahan ekspresiku, dia pun berbisik, "Biar gue yang urus."

Pasangan itu semakin mendekat kea rah kami, sementara Ayah dan Ibuku tengah sibuk berbincang dengan para klien-nya.

"Wah ... wah, gue pikir lo datang sendiri, Art. Coba lihat siapa yang ada di sini," ujar pemuda itu menyindir saudara kembarnya sendiri.

"Lo nggak ada hak nanya kayak tadi, jangan harap lo bisa ganggu dia lagi," tukas Rimba pada pemuda itu.

Rinja, saudara kembar Rimba, mantan pacarku empat tahun lalu yang berselingkuh dengan wanita yang juga berdiri di hadapan kami. Skandal foto mesranya tersebar di jaringan internet dan tanpa malu mereka mengakui perbuatan dosanya. Kini mereka berdua tampak bahagia dan nggak sedikit pun menunjukkan rasa malu.

Rinja mengibas tangannya setelah mendengar yang dikatakan Rimba barusan. "Easy, Bro ... easy. Gue sama bini gue ke sini, buat nerima akta perjanjian kerjasama. Teman lo itu, hidupnya bakal lebih tenang, dia bebas ngejar impiannya. Karena gue juga termasuk pemilik galeri ini. Asal kalian berdua tahu, saham galeri ini, 40% adalah milik gue. Orang tua lo hari ini angkat gue sebagai CEO galeri ini!"

Apa?!

***

"Lo bisa lihat ekspresinya tadi? Itu tuh udah kayak Thanos! Gerut-gerut penguasa, raut serakah, muncul semua tadi sampai pori-porinya aja ketutup!"

Mungkin bagi Rimba ocehanku barusan cukup menghibur dirinya. Gelak tawa pemuda itu bisa kudengar nggak henti-henti.

"Awas, lalat masuk ke mulut lo!"

Dia menganggukkan kepala dan menyudahi acara tawanya. "Art, kok bisa sih Rinja jadi pemegang saham galeri? Abang lo benar-benar nggak mau urus?"

Apa yang terjadi hari ini benar-benar di luar dugaanku. Semua yang dikatakan Rinja nggak hanya mengejutkan Rimba, aku bahkan hampir nggak percaya pada Ayah dan Ibu. Bagaimana bisa mereka mengabaikan anak-anaknya. Memang faktanya Bang Okta lebih memilih pergi dari rumah untuk mengejar impiannya dan meninggalkan tanggung jawab mengurus galeri. Tapi Yemy berbeda. Dia bahkan mau menuruti kemauan Ayah dan Ibu buat tinggal di Yogyakarta dan mengurus sanggar tari milik eyang. Kalau buat mengurus sanggar tari saja Yemy mau, aku yakin dia juga pasti bakal mempertahankan galeri supaya nggak jatuh ke tangan orang lain. Apalagi dengan kepemilikan saham sebesar itu.

Dalam lamunanku, aku merasa Rimba hanya diam saja. Kayaknya dia sudah berkali-kali mendengarku mendengus. Tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tengah jengkel.

"Lo kan tau sendiri dari dulu gimana Bang Okta."

Pemuda itu menganggukkan kepala. "Oke, kita udahin dulu kali ini obrolan soal galeri dan si tuman itu. Gue antar lo balik. Ayo!"

Aku pun mengangguk tanda setuju.

***

"Kupikir kalau kita peka, setiap kejadian adalah klu atas setiap pertanyaan. Kadang kita butuh teman bicara. Apa pun sambil tertawa tanpa memperhatikan waktu berjalan. Kadang angan seperti itu nggak selalu terjadi. Akhirnya kita hanya bisa tertegun dan menyadari, kalau kita nggak sekuat merpati."

*Artis Levenali

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang