Kemarin setelah sampai di depan rumah, aku sempat memastikan lagi pembicaraanku dengan Mahaka di warung kopi. Aku nggak mau dia salah paham denganku, begitu juga aku yang nggak siap kalau harus jadi pelampiasan rasa penasarannya.
Aku bilang padanya kalau aku dan dia berbeda. Nggak seperti yang dia bilang kalau aku dan dia punya kesamaan. Aku yakin, cinta nggak pernah ragu memilih tambatan hatinya dan aku merasakan sedikit keraguan dari jawabannya kemarin saat aku bertanya terakhir kali.
Flashback On
"Gue nggak mau berbelit, intinya apa lo punya perasaan itu buat gue?" tanya Mahaka tanpa menjawab dengan jelas pertanyaanku sebelumnya.
Kalau dia bertanya gitu, tentu saja aku punya perasaan itu. Tapi, sekarang aku jadi ragu karena sikap agresifnya. Ini bukan Mahaka, pemuda yang aku kenal nggak seagresif ini. Atau, mungkin ini sikap aslinya?
"Iya! Perasaan itu ada, perasaan ragu. Lo tahu, cinta itu murni. Dia nggak bisa disalahkan saat patah hati, tapi diri kita yang salah karena gampang nyerah."
"Jadi lo mau nyerah? Kenapa kita nggak jalan sama-sama? Saling mengobati satu sama lain."
Aku tertegun. Nggak habis pikir dengan jawabannya yang nggak rasional. "Cinta bukan obat, Mahaka. Kalau pun kita berdua sama-sama bangun cerita baru, bukan berarti semua yang kita alami sekarang, bisa mudah luruh. Kenangan masa lalu nggak bisa hilang. Bayang-bayang pahit itu bahkan masih sering terbesit di memori gue."
Aku bisa merasakan emosinya kali ini. Mahaka terlihat beberapa kali mengembuskan napas dengan berat. "Art, maaf ... mungkin gue terlalu frontal dan bikin lo kaget karena nggak menduga gue begini." Mahaka kembali menatapku dalam selembut kain sutera. "Gue tahu, cinta itu dewasa dan yang murni itu hati kita. Kalau kita mau bangkit, kita harus dewasa. Terima semua kesalahan masa lalu. Dari sana, kita bisa bangkit. Memaafkan masa lalu itu sulit, tapi itu satu-satunya cara melepas semuanya. Karena itu, gue pengin kita sama-sama bangkit dan sama-sama maafin masa lalu kita masing-masing."
"Sori, Mahaka gue harus balik."
Flashback Off
***
Hari ini Okta datang. Senang sekali rasanya bisa kembali mendengar suara abangku itu di rumah ini. Rasanya sudah lama sekali, mungkin ... lima tahun? Lima tahun dia sama sekali nggak datang ke rumah.
"Okta nggak akan panjang lebar, Ayah panggil Okta datang ke sini tentu bukan dengan alasan sekadar orang tua yang kangen sama anaknya. Cepatlah katakan."
Aku baru saja sampai di ruang keluarga saat Okta angkat bicara. Sedangkan Ayah bersedekap dan duduk dengan melipat kakinya, seperti biasa.
"Kalian berdua duduklah," ucap Ayah.
Okta menoleh ke belakang, dia menemukan diriku yang sudah berdiri di balik punggungnya sejak tadi.
"Hei." Okta tersenyum, aku rindu senyuman itu. Senyum yang selalu membangkitkan semangatku. Dia pun berdiri dari duduknya. "Sini," ucap Okta seraya membuka tangannya lebar-lebar seolah minta dipeluk.
"Setelah ini pergi lagi?" tanyaku pada Okta.
"Hm. Gue ada janji sama calon bini," bisik Okta yang masih memelukku. Beberapa detik kemudian, Okta mengajakku duduk di sofa seberang Ayah.
Aku terperangah. "Bang Okta mau nikah?"
"Siapa wanita yang mau kamu nikahi?" tanya Ayah.
"Kania, reporter stasiun tv."
"Setelah ini, bantulah Rimba di Galeri. Kamu sudah janji dengan Ayah bukan? Kamu akan kembali setelah menikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM OF ME [ILUSI]
ChickLitArtis Levenali, anak kedua dari tiga bersaudara. Sukanya motret dan nulis puisi, kuliah Manajemen buat nurutin orang tua demi jadi penerus galeri lukis dan jadi tameng biar hobinya nggak ketahuan Ayah. Bagi Mahaka (cowok kenalan Artis di aplikasi su...