Bab 15. Bicara

123 27 70
                                    

Hari ini aku memegang beberapa jawaban. Tentang impianku, harapan kedua oang tuaku, pengalaman abangku, termasuk ... tentang Mahaka yang menumpahkan seluruh perasaannya padaku beberapa hari yang lalu. 

Matahari siang ini ibarat bayi yang baru saja mengenal wajah selain ibunya. Malu-malu atau enggan memunculkan diri. Cuaca kayak gini sedikit lebih kusukai. Karena hujan barangkali akan turun dan aku sangat menyukai wangi hujan. Membayangkan duduk termangu mengisi jeda antara kisi-kisi jendela. Menghadap langit dan menghirup aroma hujan. Terdengar lagu klasik versi Victor Wood yang berjudul In The Beginning. Bahagia sekali.

"Art, lagi di mana lo? Ketemu yuk!"

Myisha.

Teman yang aku ceritakan sebelumnya. Kini merek dagang Myisha sudah dipakai sejumlah perusahaan advertising. Responku? Sangat bangga! Aku tahu betul bagaimana perjuangan Myisha membangun bisnisnya. Bahkan untuk modal awal membangun usahanya, dia harus berutang pada orang tuanya dan itu sudah dikembalikan dalam waktu tujuh setengah bulan.

"Ada produk yang mau dipresentasiin?"

"Iya nih. Bisa ke studio gue nggak? Sekarang,"  tanya Myisha di ujung telepon sana.

"Gue lagi di galeri nih. Bisa jemput?"

"Yaudah, 30 menit lagi gue jemput. Oke?"

"Sip."

Koleksi lukisan di galeri sekarang ini lebih terjadwal. Setiap satu bulan sekali, pasti koleksi terbaru dari pelukis-pelukis muda berbakat yang sedang memulai karirnya dipamerkan di sini. Bulan ini akan ada karya dari Shetty, Mahasiswi Fakultas Seni Rupa di kampusku, junior Rimba. Lukisannya berhasil menarik perhatian Ayah dan Bang Okta. Karena itulah, Rimba membawanya untuk ikut dipamerkan dalam pameran akhir bulan nanti.

***

"Gue udah di depan."

Aku bergegas menghampiri Myisha begitu tahu kawanku itu sudah sampai di galeri. Seperti biasa, cipika cipiki menjadi ritual kami tiap bertemu.

"Kali ini edisi produk apa, Sha?"

"Model tunic gitu sih. Ada juga yang blouse, tapi bahan kaos gitu," jawab Myisha sedikit berteriak. Kami menggunakan sepeda motor, yang begitu kami bicara, suara kami seakan berbalapan dengan suara kendaraan lain di sekitar kami, belum lagi deru angin juga ikut-ikutan nimbrung.

Setibanya di studio, aku langsung memeriksa kamera dan seperangkat fotografi yang kubuthkan.

"Modelnya siapa?"

"Gue! Gue lagi nggak bisa bayar orang bulan ini, karena sepupu gue lagi di luar kota. Orang lain bayarannya mahal, kualitasnya belum keliatan," ucapnya sedikit berteriak sembari memilah pakaian yang akan digunakannya nanti.

Sepertinya aku harus menjelaskan rencanaku pada Myisha setelah ini. Setidaknya, dia harus tahu ke mana dia bisa menemuiku jika nanti aku hilang kabar. Kalau kuingat-ingat, Myisha pernah memintaku untuk ikut dengannya ke suatu tempat suatu hari nanti. Entah aku bisa mengabulkan keinginannya itu atau nggak, kuharap Myisha akan mengerti keputusanku ini.

"Gue udah siap nih!"

Aku menoleh ke arah pemilik suara. Bagus! Pakaian yang bagus! Myisha, seleranya memang nggak pernah salah. Sejak dulu aku selalu menyukai kepribadiannya. Gadis berhijab itu, benar-benar jauh dari sekadar julukan "berbakat", rasanya fashion sudah bertahun-tahun hidup dengannya.

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang