Bab 19. Perpisahan

116 25 16
                                    

"Art, dengerin gue dulu!"

Okta masih berusaha menjelaskan semuanya padaku. Namun, fakta yang kudapat hari ini nggak bisa dikelak lagi. Mereka bahkan nggak bisa menjawabnya semula, sebelum aku merenungkan semua pola rencana mereka.

Ayah, Ibu, dan Yemy sudah duduk di ruang keluarga. Mereka terlihat menunggu kedatanganku, seolah sudah tahu apa yang akan kulakukan.

"Duduklah, apa yang kamu inginkan?"

Aku membuang pandangan ke arah lain dengan sudut bibir meninggi, mungkin kini aku terlihat meremehkan ucapan Ayah. Biar saja, toh memang ucapannya sangat pantas untuk diremehkan. Basa-basi yang sudah anyir untuk kucicipi dengan telingaku setiap dalam situasi ini.

"Aku akan keluar dari rumah ini. Kalau Ayah dan Ibu kasih kesempatan buat Bang Okta kejar impiannya, maka aku juga akan ngelakuin hal yang sama. Aku akan memotret dan menulis puisi dengan sandi nama yang selama ini kupakai. Kalaupun Ayah dan Ibu mengajukan syaratnya agar mengizinkanku pergi, aku akan mencoba kembali melukis dengan nama samaran lain. Persis seperti yang Bang Okta lakukan. Tapi, aku akan pergi dan tinggal di tempat yang kalian nggak akan tahu di mana. Aku nggak akan beri kabar, kalian juga nggak perlu kabari aku. Kalau ingin tahu keberadaanku, cukup cari tahu aku dari sandi nama yang akan kusematkan di setiap karyaku."

Ayah menegakkan bahunya yang semula bersandar di sofa. "Gimana dengan kuliahmu?"

"Ayah nggak perlu pedulikan itu, selama ini Ayah juga nggak pernah peduli. Jadi, tolong tetaplah begitu."

Ayah menganggukkan kepala. "Baiklah, berapa lama kamu akan keluar dari rumah ini? Okta sudah membuktikan keberhasilannya, apa kamu yakin bisa menandingi keberhasilan abangmu itu? Paling nggak setara dengannya."

"Ayah, nggak bisa—"

Ayah mengangkat sebelah tangannya. "Kamu nggak berhak membantu adikmu. Camkan itu. Sekarang kami sedang bernegosiasi, nggak ada satu pun dari kalian yang bisa mengintervensi."

Bang Okta diam. Dia hanya memandangiku dari posisi duduknya. Aku nggak peduli, pandanganku hanya tertuju pada Ayah.

"Karena Yemy sudah berada di jalur yang tepat, meski bukan pelukis dia bisa melanjutkan mengurus sanggar Ibu yang ada di Yogya, maka Ayah memberimu kebebasan. Bahkan, jika kamu nggak kembali lagi ke rumah ini, bukan masalah buat Ayah. Tapi ingat, kamu tetap membutuhkanku saat menikah nanti."

"Aku nggak peduli, jangan mencoba mengecohku."

Sekali lagi, Ayah menganggukkan kepalanya. "Pergilah, lakukan semua hal yang kamu mau. Tapi ingat, kamu tetap harus melukis sekalipun kamu nggak suka itu. Pakai nama lain seperti Okta, bukan masalah buat Ayah. Berilah kabar pada ibumu, Ayah akan terus mengirimkan uang sesuai kebutuhanmu."

Pria paruh baya di seberangku ini memang nggak pernah malu-malu mengesankan dirinya "mengusir" anak dari rumah. Mengesankan bahwa uang adalah satu-satunya cara menyelesaikan persoalan.

"Aku butuh modal secukupnya, nggak perlu memberiku tiap bulan. Cukup modalkan aku 10 ribu dolar dan aku akan menempuh semuanya sendiri."

"Tapi, Art—"

"Apa lo nggak dengar ucapan Ayah tadi? Nggak ada yang bisa mengintervensi negosiasi gue sama Ayah."

Okta diam. Aku nggak tahu jelas bagaimana raut wajahnya saat ini, begitu juga dengan Yemy dan Ibu. Aku hanya fokus bertatap muka dengan pria paruh baya di seberangku ini—ayahku.

"Kak Art mau ke mana?"

Aku menoleh pada asal suara tanya yang terdengar lirih itu.

"Kita lama nggak ketemu, akhirnya sekarang gue yang ke sini nemuin lo. Tapi lo malah mau pergi. Lo bener-bener nggak sayang gue, Kak?"

"Diam."

Hanya itu yang mampu aku ucapkan pada Yemy, si bungsu dengan raut wajah yang begitu kecewa padaku. Harusnya dia tahu konsekuensi apa yang akan terjadi dengan membantuku menemukan jawaban ini. Kenapa dia harus sedih? Apakah raut sedihnya itu karena rasa bersalah? Atau, karena merasa kehilangan seseorang yang berarti untuknya?

"Ayah, Yemy nggak pernah minta apa-apa dari Ayah. Bahkan dari kecil sampai sekarang Yemy selalu nurut. Sekarang Yemy minta, kasih Kak Art kesempatan buat tetap di sini. Kasih Kak Art kesempatan lakuin apa pun yang dia suka. Ayah sudah punya Bang Okta dan Yemy yang bisa bantu Ayah urus galeri dan sanggar. Yemy mohon."

"Nggak ada intervensi, mengerti? Ini sudah jadi kemauan kakakmu sendiri. Ayah hanya memberinya penawaran."

Bullshit! Apanya penawaran? Ucapannya memang benar-benar pantas untuk diremehkan. Egois sekali.

"Ayah! Ayah kenapa sih? Kenapa pengin banget Kak Art yang ngurus galeri Ayah, kenapa pengin banget Kak Art bangkit dari patah hatinya? Kenapa Ayah pengin banget Kak Art ngelukis lagi? Kenapa Ayah nggak seperhatian itu sama Yemy, bahkan Ayah jarang jenguk Yemy yang tinggal jauh."

Aku hanya mampu menggelengkan kepala mendengar protes dari Yemy. Miris sekali si bungsu ini.

"Diamlah, Yemy. Ini urusan gue sama Ayah, kalo lo mau protes, nanti aja setelah gue selesai."

"Gue cuma mau Ayah sadar, Kak! Dia itu punya dua anak perempuan, kenapa dia nggak ada pedulinya sama sekali sama kita, sama anak-anaknya. Atau, jangan-jangan kita bukan anaknya? Bu, apa kami bukan anak Ibu? Kenapa Ayah melakukan ini sama kami?"

Ibu hanya diam. Wanita itu seperti manusia yang isinya kepalanya telah diprogram untuk hanya menuruti satu orang saja, Ayah.

"Kalian jangan sembarangan bicara!"

"Lalu kenapa Ayah memperlakukan kami seperti ini?"

Ayah nggak menjawab. Pria paruh baya itu selalu kalah dengan Yemy. Entah hatinya yang mudah diluluhkan si bungsu atau, memang semua yang dikatakan Yemy benar adanya.

"Buatlah perjanjian tertulis dan berikan pada Ayah. Tuangkan semua yang kamu inginkan dan apapun yang akan kamu lakukan nantinya."

Ayah bangkit dari kursinya. "Dan kamu Yemy, kita akan buat perhitungan berbeda karena intervensimu dalam negosiasi. Ayah nggak menerima koreksi apa pun darimu. Bersiaplah untuk segera kembali ke Yogya dan nggak kembali lagi ke sini dalam waktu dekat.

Aku sudah menyiapkan semuanya bahkan memikirkantentang hari ini sejak jauh hari. Akhirnya, aku memilih jalan yang Bang Okta pilih.Karena memang hanya itu yang Ayah tawarkan, nggak ada pilihan lain. Aku sadar,aku memang bukan anak baik seperti Yemy—si bungsu, yang mendedikasikan hidupnyauntuk mengurus sanggar membantu Eyang di Yogya.

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang