Bab 18. Akhir Enigma

120 23 14
                                    

"Yemy! Adik bungsu gue!"

Okta langsung membuka kedua tangannya lebar-lebar menyambut Yemy ke pelukannya. Dengan antusias, Yemy sedikit berlari dan langsung memeluk abang semata wayangnya.

"Yemy kangen abang," ucapnya manja.

Wajar, anak bungsu.

"Kalo abang nggak nikah, kamu nggak balik ke sini?"

Yemy yang masih dalam pelukan Bang Okta dengan tegas menganggukkan kepala sebagai jawabannya. "Yemy juga mau kasih kejutan buat kalian, terutama buat Kak Art."

Ayah dan Ibu yang baru saja bergabung dengan kami, langsung melontarkan pertanyaan yang nggak kalah penasarannya denganku.

"Bawa kejutan apa?" tanyaku dan Ibu berbarengan.

Yemy membuka kopernya dan mengeluarkan kotak kecil seukuran buku catatan. "Ini buat Kak Art, jawaban dari teka-teki yang belum kejawab."

Aku membuka kotak kecil itu. Kutemukan gulungan sepanjang buku catatan, aku membuka salah satu gulungan itu.

Lukisan! Lukisan indah yang belum utuh. Di sudut kiri bawah, ada catatan kecil milik si pembuat. Okta Hamase.

Aku membuka gulungan lainnya. Artis Levenali. Ini ... lukisanku?! Lukisan yang sama seperti yang menjadi wallpaper laptopku.

Masih ada tiga lukisan lainnya. Aku membukanya ... dan semua itu milik Okta Hamase dan ketiga lukisan itu mirip dengan lukisan-lukisan yang ada di Hutan Galeri. Rimba mengakui kalau lukisan itu adalah miliknya.

"Ini maksudnya apa, Bang?"

Aku menatap Bang Okta yang masih merangkul Yemy di hadapanku. Ibu ikut terheran setelah memperhatikan raut wajahku. Namun, nggak dengan Ayah yang tetap terlihat santai melipat kakinya sambil duduk di sofa dan meneguk teh manis hangat miliknya.

"Kenapa lukisan ini ... lukisan gadis di bawah sinar bulan di tepi sungai ini, mirip sama lukisan Rimba di galeri?"

Okta merebut gulungan itu dari tanganku. Aku bisa baca kalau ekspresi wajahnya kini nggak jauh berbeda denganku yang amat terkejut ini. Yemy benar-benar membayar janjinya, memberiku kejutan.

Aku ingin dengar pembelaan diri Bang Okta, apa yang akan dia katakan lagi kali ini. Setelah malam itu dia diam-diam menelepon seseorang dan menyebut namaku juga Mahesa.

"Di bawahnya ada catatan Okta Hamase, tapi kenapa mirip sama lukisan yang dibuat Rimba. Dua lukisan ini juga sama! Yemy, lo dapat dari mana lukisan ini?"

Bang Okta dan Ibu masih diam saja. Kulihat Bang Okta sempat melirik ke arah Ibu, sedangkan Ibu melirik ke arah Ayah. Oh, aku tahu kondisi macam apa ini. Sudah jauh lebih jelas. Benar yang Yemy katakan bahwa semua ini hanya permainan saja dan aku adalah korban dari permainan mereka ini.

"Kenapa semuanya jadi tiba-tiba bisu? Ini apa maksudnya? Yemy, apa ini yang lo maksud Mahesa? Jadi, Okta itu Mahesa? Bukan Rimba? Dia membalik nama belakangnya sebagai nama sandi lukisannya? Ayah sama Ibu pasti udah tahu soal ini 'kan? Kenapa diam aja?"

Menit-menit berlalu, semuanya masih pura-pura bisu. Sampai akhirnya Okta bersuara....

"Lo benar, gue ... Mahesa yang sebenarnya, bukan Rimba."

Aku bisa merasakan bahwa saat ini kedua mataku membulat dan jantungku berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya. Bola mataku seperti tergenang air. Aku nggak menyangka kalau mereka semua mempermainkanku. Semuanya menipuku dan aku yakin Rimba juga masuk dalam permainan ini.

"Jadi, maksud lo ... kejadian di galeri?"

Okta berusaha menganggukkan kepalanya perlahan. "Ini semua rencana gue sejak awal, sejak sebelum gue balik ke rumah."

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang