Bab 11. Media

160 26 52
                                    

Akibat pengakuan Rimba kemarin sebagai Mahesa, media pun ramai membicarakan skandal Rinja tiga tahun silam. Warganet yang peduli dengan berita ini, begitu menghujat Rinja yang menyebabkan nilai saham menurun. Memang hanya masalah sepele, para investor pun nggak menganggap serius, tapi aku nggak bisa membiarkan nilai saham Hutan Galeri jadi turun begini. Mau nggak mau, Rimba memang harus menggantikan posisi Rinja sebagai CEO untuk meredakan kritik warganet dan menurunkan berita-berita yang menurunkan elektabilitas galeri. Sebetulnya ini adalah jackpot paling besar! Artinya rencanaku dan Rimba buat mengudeta Rinja berhasil. Namun, aku tetap harus menghubungi abangku, Okta. Supaya berita yang muncul di permukaan hanya tentang Pelukis Mahesa; Rimba. Nggak ada lagi berita Rinja.

"Ini reputasi galeri! Gue nggak masalah mau si Rinja dihujat sama orang-orang atau nggak, gue cuma peduli supaya Hutan Galeri nggak goyah. Gimana caranya, gue mau berita cuma fokus sama Rimba dan Pelukis Mahesa, supaya nilai saham nggak terjun payung kayak sekarang! Gue minta tolong banget sama lo Bang, blokir semua berita yang berkaitan sama Rinja."

"Pimpinan redaksi emang lebih tertarik sama Rimba, tapi dia juga setuju buat buka aib Rinja abis-abisan!  Di sini tim media cetak juga udah siap, gue nggak yakin bisa bantu banyak."

"Ya, lo apain kek. Tim lo kan banyak, Bang ... masa iya bantu hal receh kayak gini aja nggak bisa? Gue minta tolong banget, atur gimana caranya supaya nggak sampai naik ke media cetak dan turunin semua yang ada di tv. Di media online juga. Atau, lo ubah headline beritanya pakai angle pameran."

Aku bisa dengar helaan napas berat di ujung telepon. Aku tebak, Bang Okta juga nggak mau keadaannya jadi kayak gini. Dia pasti lebih rela namanya yang jadi headline news belakangan ini daripada Rinja si brengsek tengik itu. "Kalau urusan kayak gini, baru nyari gue. Soal pembelian saham 20% kemarin, nggak ngelibatin gue."

Artis mengernyitkan dahinya. "Lo tahu soal rencana gue dan Rimba ngebeli 20% saham Rinja?"

Okta kembali menghela napas pelan. "Lo pikir Rimba nggak bakal hubungi gue? Dia juga minta izin sama gue soal ide gila kalian itu. Yaudah, tunggu beberapa jam, gue naik dulu, ngelobi."

Tut.

Panggilan terputus.

Semalam, setelah Rimba melancarkan rencana kami dan Om Jeremy berhasil membeli 20% saham Rinja, ternyata Ayah mengundang beberapa wartawan kenalannya. Kudengar dari Bang Okta, Ayah mengundang mereka rencananya untuk mewawancarai Rinja dan meliput seluruh lukisan di sana. Namun, karena kejadian pengakuan Rimba sebagai Mahesa, mereka manfaatkan skandal Rinja buat jadi headline. Ya, meskipun rencanaku dan Rimba berhasil, tetap saja anjloknya nilai saham nggak aku perkirakan sebelumnya.

Sesekali sebelah tanganku mengacak rambut. Mondar-mandir agaknya jadi hobi baruku hari ini. "Gue nggak duga wartawan lebih tertarik sama skandal Rinja ketimbang lo, Rim."

Rimba masih duduk dengan santainya di sofa, melipat kakinya persis seperti yang Ayah lakukan tempo hari. Memang ya, peribahasa "buah yang jatuh nggak jauh dari pohonnya" seolah abadi. Sebagai murid Ayah, sedikit kebiasaan Rimba begitu mirip seperti ayah. Cara dia duduk santai, cara dia menyeruput kopi. Apalagi, cara dia memulai percakapan serius ke investor kemarin. Sebenarnya anak Ayah itu ... aku atau Rimba sih?

"Terus rencana lo apa?" tanya Rimba yang asyik dengan kamera di tangannya.

"Gue udah telepon Bang Okta sih, buat redain media dan alihin beritanya ke pameran, bukan skandal kayak gitu."

Hah....

Kudaratkan diriku di sofa seberang Rimba. Apa lagi ya selanjutnya yang direncanakan Ayah?

"Rim, lo udah siap tanggung jawab sama Galeri?" tanyaku mencoba mengalihkan pikiran yang masih kalut ini.

Rimba mengubah posisi duduknya, kemudian meletakkan kamera di meja. "Dari dulu, ngelukis satu-satunya hal yang gue banggain. Nyawa gue di sana. Gue udah bilang 'kan kalo gue suka jadi layang-layang? Gue emang nggak suka jadi pusat perhatian, tapi kali ini gue mau tunjukkin diri gue sebagai Mahesa yang selama ini sembunyi." Rimba berkata pasti sembari menatapku meyakinkan.

Aku menganggukkan kepala. "Oke, gue berenti di sini, tugas gue udah selesai kalo emang lo udah mutusin buat ambil tanggung jawab itu."

Setelah beberapa detik menatapku, tanpa mengucapkan apa pun Rimba bangkit dari sofa dan berjalan meninggalkan ruang tamu.

"Mau ke mana?"

"Ketemu bokap lo," jawabnya singkat.

***

Sorenya Bang Okta menghubungiku lagi. Dia memintaku memeriksa seluruh saluran teve dan media online. "Cek semua media, udah gue beresin. Jangan lupa traktir gue," katanya.

"Nggak usah bercanda, lo aja lebih tahan tinggal di sana kan?"

"Hahaha. Lo nggak harus keluar dari rumah juga kayak gue, Art. Buktiin aja lo bisa dapetin impian lo dengan cara yang beda dari gue. Titip salam buat Ibu sama Ayah."

"Hm."

Tut.

Panggilan terputus.

Okta, abangku. Waktu seusiaku, dia cuma seorang wartawan korek. Mejeng di Kantor Polisi atau di Pasar Raya cuma buat nungguin kasus. Kadang juga duduk-duduk di sekitaran Patung Kuda Jalan MH Thamrin bareng teman-teman sejawatnya—sesama wartawan korek, demi dapatin kabar berita atau sekadar desas-desus yang berlalu-lalang di pusat kota. Karena usahanya yang aku nggak tahu gimana caranya, Okta berhasil jadi seorang News Producer saat ini. Meski begitu, tentu saja ada yang dia korbankan—milih hidup susah dari nol, ninggalin semua yang Ayah tawarkan, dan waktu yang nggak sebentar.

Beda denganku yang masih berpangku tangan dan nggak seberani Okta buat angkat kaki dari rumah. Karena menurutku, menunjukkan keberhasilan nggak mesti harus pergi dari rumah dan mengejarnya sendirian. Setahuku, menghadapi masalah harus face to face, memecahkannya harus apple to apple.

Sebetulnya dulu aku sempat berpikir untuk ikuti gayanya Okta—keluar dari rumah, milih hidup susah, kemudian berhasil dapatin hal yang diimpikan. Namun, di zaman sekarang ini face to face lebih elegan sih menurutku, Okta juga melarangku.

Aku nggak mau bilang kalau Okta milih jalan pintas sih, dia juga berjuang di luar sana. Well, apa pun itu yang penting kalau kita berhasil meraih mimpi, bagus 'kan? Toh, ada pepatah bilang, "banyak jalan menuju Roma".

Kini kuperiksa semua saluran televisi dan media online. Hampir semua saluran televisi dihebohkan dengan kabar selebritis yang tertangkap akibat narkoba. Katanya sih tertangkap basah sedang pakai sabu di kos-nya, wajah si selebritis juga di-blur. Aku tahu, ini pasti kerjaan Okta. Bisa-bisanya nimbun pakai berita mahal kayak gini. Ada juga berita tentang Pelukis Mahesa, namun berita si selebritis kelihatannya memang lebih menjual.

Hah ... selamat mimpi indah....

Tunggu! Kayaknya dua hari lalu Mahaka kirim pesan.

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang