Bab 14. Kembalinya Okta

124 26 18
                                    

Rimba memang nggak pernah mengecewakan kalau urusan membawaku hunting foto. Ini pertama kalinya aku datang ke Galeri Indonesia, sejak beberapa bulan lalu aku memang ingin datang ke sini, and it amazed me! Rimba yang berhasil bawa aku ke sini.

Kami langsung memasuki Galeri C sebelum mengunjungi galeri lainnya. Kata Rimba, galeri ini yang paling spesial! Memiliki karya-karya sketsa urban yang rasanya, aku seperti ada di dunia dalam sketsa itu. Keren!

"Oh iya, gimana pergerakan Rinja? Apa ada yang ngerugiin lo?" tanyaku penasaran. Sejak hari itu, aku belum dengar kabar lagi soal galeri. Semua orang-orang di rumah begitu sibuk dengan rutinitas dan pikiran masing-masing, sampai-sampai aku juga ikut terlibat memikirkannya.

"Sejauh ini belum ada pergerakan dari Rinja, kayaknya dia masih belum sadar kalau 20%-nya dibeli sama kita. Oh iya, setelah ini gue mau ajak lo ke tempat yang tenang buat obrolin sesuatu."

Mendengar Rimba yang berkata begitu, perasaan nggak enak langsung menyergap bulu kudukku. Aku mohon, semoga bukan urusan hati lagi. Lelah juga aku memikirkan soal cinta.

***

Aku dan Rimba sudah tiba di halte transjakarta dekat museum saat lima belas menit lalu kami meninggalkan galeri.

"Kenapa kita naik ini? Emang mau ke mana?"

Aku heran, penasaran juga sih apa yang mau Rimba bicarakan. Namun, Rimba nggak jawab apa pun. Dia begitu asyik mengutak-atik kamera di tangannya, memeriksa hasil fotonya.

"Ayo, ini penting," ucapnya saat bus baru saja datang.

Kami memasuki bus. Aku sih sering naik bus ini, jadi suka-suka saja berdiri sambil memandangi jalan dari balik jendela seperti ini. Di depan sana, tampak Tugu Pembebasan Irian Barat menyambut langit sore yang begitu cerah ini.

"Kita turun di sini."

"Lanjut naik kereta?"

"Kita ke Taman Lapangan Banteng, hunting di sana nggak kalah keren sama di galeri tadi."

Aku ber-oh ria. Kupikir Rimba ingin mengajakku ke tempat yang sedikit lebih jauh dengan perjalanan yang lebih menyenangkan.

Kami berjalan menyusuri trotoar dan melalui para pedagang yang tengah mengadu nasib di sana menjajakan barang dagangannya.

"Rimba, bentar!"

Langkahnya sudah beberapa meter jauh di depanku, tapi ada hal yang ingin kurekam dalam kameraku. Masjid dan Gereja ini. Dua bangunan cagar budaya yang memiliki arsitektur luar biasa mengagumkan. Setiap kali aku melalui jalan ini, aku selalu takjub memandangi dua bangunan yang saling berhadapan satu sama lain. Indah.

Kami pun kembali berjalan dan berhenti di stadium dekat kolam air mancur Lapangan Banteng.

"Jadi, hal serius apa sih yang mau lo omongin?" tanyaku seraya memeriksa hasil foto-foto tadi. Bukan aku menyepelekan Rimba, hanya saja paling-paling yang bakal dia omongin nggak jauh-jauh dari urusan galeri. Harapanku masih sama, semoga bukan urusan hati.

"Ayah lo minta gue buat nggak ngejar lo terlalu keras."

Tanpa kehendakku, kedua tanngan ini langsung diam nggak berkutik setelah mendengar ucapan Rimba.

"Dia tahu kalo ambisi gue bukan buat galeri, tapi buat milikin lo dan ayah lo nggak suka itu. Terutama Okta."

Aku berusaha menoleh ke arahnya, memberanikan diri menelisik raut wajahnya. Hampa. Hanya itu yang aku temukan.

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang