Cekrek!
Cekrek!
Cekrek!
"Lari dari waktu nggak ada gunanya, malah kadang-kadang kita yang sering ngejar waktu. Hidup tuh lucu, Rim. Kita bernapas, tapi kadang kita nggak butuh napas, misalnya kayak kita kalo lagi ada di dalam air. Sekarang ini, apa gue perlu tahan napas dan hidup kayak ikan di air?" tanyaku pada pemuda yang tengah berdiri di sampingku.
Rimba mengembuskan napasnya berat. "Layang-layang lebih nyenengin menurut gue. Dia bisa lihat apa pun dari atas sana. Walaupun sulit seirama sama arah angin, tapi dia selalu bangga jadi perhatian banyak orang. Bukan karena dia merasa hebat, tapi karena dia bisa hibur siapapun yang ngeliat. Ngomong-ngomong kamera lo udah balik?"
Aku menganggukkan kepala. "Baru gue ambil tadi sore."
Soal ucapan Rimba tadi, aku jadi makin dalam memikirkannya. Apa mungkin jalan hidupku memang untuk memenuhi keinginan orangtua? Apa nggak ada cara lain melawan Rinja?
Cekrek!
"Lo tahu, Art, dari dulu gue nggak pernah suka jadi pusat perhatian," ucapnya seolah tahu kegelisahanku. "Tapi lama-lama gue paham, perhatian orang-orang ke gue, itu cuma efek dari hasil yang gue kerjain. Gue pameran, gue jual lukisan, bahkan beberapa ada yang masuk di galeri bokap lo."
Rimba menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arahku. "Lo paham maksud gue kan?"
Aku bergeming sejenak, kemudian kuarahkan lensa kameraku ke arahnya. Cekrek!
Mengembuskan napas memang pilihan terbaik untuk mengendalikan pikiran—seperti yang saat ini kulakukan. "Fine! Mungkin gue nggak akan bikin pameran kayak lo. Mungkin gue bisa jual hasil jepretan gue di NFT atau ShutterStock. Oke kan? Kalo dihitung-hitung, kayaknya bisa-lah buat beli 20% persen sahamnya Rinja. Cukup buat kudeta dia dari bangku CEO."
Kami pun tergelak bersama.
Kerlap-kerlip lampu kota dan lampu hias kolam Bundaran HI begitu mengindahkan pemandangan. Ramai pengendara menjadi hiasan gemerlap bumi malam. Orang-orang begitu menikmati sejuknya suasana dengan berjalan, berbincang, atau sekadar menyesap kopi sambil menyaksikan pertunjukkan musik di trotoar. Sepasang manusia tua di atas sana, selalu menyambut siapa pun yang melaluinya—Patung Selamat Datang.
Aku beralih memilih duduk di kursi pinggir trotoar.
"Setelah ini, apa lagi rencana lo? Abang lo udah ada kabar?" tanya Rimba yang kini menyusulku duduk di kursi ini.
Aku menggelengkan kepala. "Semenjak cabut dari rumah, gue nggak pernah dengar kabar dari dia, begitu juga dengan gue dan Yemy. Karena, komitmen gue sama mereka, kalo salah satu dari kami bertiga ada satu yang kontak, artinya ada masalah besar yang ngancam Ayah sama Ibu. Kalo urusannya udah itu, mereka baru benar-benar bakalan datang ke rumah."
Rimba masih termenung duduk di sampingku. Entah apa yang sedang di pikirkannya, aku hampir nggak pernah bisa menebak itu. Sejak dulu Rimba selalu bergerak sesuai kata hatinya dan jarang sekali dia mengatakan seluruh niatnya pada orang lain, termasuk aku. Apa dia sedang merasa bersalah atas tingkah saudara kembarnya? Atau, dia sedang memikirkan jalan yang tepat buat mengugurkan saudaranya itu?
"Art, sori udah bikin lo susah. Sekalipun itu bukan karena gue melainkan karena Rinja, gue harap lo mau maafin dia demi gue."
Aku bisa tahu dia menatapku, namun aku enggan menatapnya. Aku nggak bisa dia membaca perasaanku saat ini. Pikiranku juga sedang bercampur dengan urusanku sama Mahaka. Kira-kira apa yang mau dia katakan padaku sore tadi, masih jadi pertanyaan dalam kepalaku. Apa dia benar-benar mau membahas soal lensalimalima? Atau, dia cuma ingin tau kenapa aku tiba-tiba meninggalkannya tempo hari? Besok aku harus ketemu dia dan menyelesaikan ganjalan perasaan ini.
***
Seperti janjiku kemarin pada Mahaka, kami akan bertemu di galeri. Kalau memang dia akan membahas soal lensalimalima, aku nggak ada ide buat kasih jawaban bagaimana. Harapanku, semoga Mahaka nggak kecewa berat. Pun kalau dia mengabaikanku, aku sudah siap dengan perubahan hubungan kami nantinya. Ini sudah jadi risiko bukan?
Kudengar-dengar, hari ini Rinja nggak datang ke galeri, pun juga dengan istri sosialitanya itu. Galeri ini hanya dijaga oleh seorang pegawai wanita dan beberapa security. Memang sih ada CCTV di setiap sudut ruangan galeri. Tapi bagaimana kalau yang datang ke sini adalah kantong-kantong harta karun dengan jumlah dolar yang berlimpah, dan memboyong seluruh lukisan di sini. Bukankah kehadiran CEO penting di sini?
"Art, udah lama?" tanya seseorang dari balik punggungku.
Mahaka, dia sudah ada di hadapanku. Kemeja putih dengan lengan digulung 3/4 itu dan celana jins cokelat. Tampilannya benar-benar maskulin. Tumben sekali. Aku jadi kikuk.
"Art, kenapa sih?" tanya pemuda itu makin heran. "Art!" serunya sembari menepuk pundakku.
"Ah iya!"
Oke, aku bisa. Aku pasti bisa mengatakannya!
"Gue nemu ini."
Mahaka, pemuda itu menyerahkan sebuah buku padaku.
"Buku apa nih?"
Aku bisa dengar Mahaka mengembuskan napasnya pelan. Kulirik sorot matanya, tampak serius sekali memperhatikan buku ini.
"Kayaknya buku itu punya lo atau mungkin punya pacar lo. Sekarang lo nggak perlu nutupin siapa diri lo sebenarnya. Lo nggak perlu gugup kayak tadi. Gue udah tahu semuanya. Entah gimana ceritanya, emang takdir gue aja yang ketemu sama buku ini, atau mungkin ... lo yang sial karena rahasia lo sekarang udah nggak jadi rahasia lagi. Kenapa sih nggak bilang aja kalo lo tuh sebenarnya lensalimalima? Dan semua puisi yang lo bikin itu, karena terinspirasi dari pacar lo. Kenapa sih, gak jujur soal siapa diri lo? Apa gue nggak sepenting itu buat lo? Atau, emang selama ini lo nggak kenal gimana gue? Lo anggap gue selama ini apa, Art?"
Aku ... aku nggak tahu harus bagaimana sekarang ini. Mendengar tuturnya, terasa begitu dalam dan aku bisa tahu seberapa sakit hatinya merasa dibohongi olehku selama ini. Pembelaan diri yang bagaimana supaya dia bisa terima perlakuanku? Apa kata maaf sudah cukup? Mungkin cukup jika hanya di mulut saja, tapi bagaimana dengan hatinya? Apa dia akan mengerti kalau kujelaskan kenapa aku sembunyi selama ini?
Pemuda itu menghela napas berat. "C'mon, Art! Lo bisa ngomong kan? Lo bisa jelasin semua ini kan?"
Kuberanikan kedua mataku menatapnya. Kuembuskan napas pelan. Kutampakkan seulas senyum yang kupaksakan kepadanya yang masih menatapku lekat. "Gue pikir, sekarang ini gue udah di jalan buntu." Aku menggelengkan kepala. "Gue nggak tahu, harus jelasin dari mana, gue nggak pernah niat bohongin lo selama ini. Buku ini, bukan punya gue. Tapi, gue tahu nama siapa yang tertulis di sini. Gue ... maafin gue, Mahaka."
"Gue kecewa sama lo, Art. Gue kecewa! Makasih udah luangin waktu hari ini, rasanya gue butuh waktu buat sendiri. Gue pergi."
Sakit.
Rasanya lebih sakit jika dibandingkan saat aku melihat Ayah mengusir abangku dan kami berpisah selama beberapa tahun ini.
Topeng itu terlalu lama kupakai
Sampai aku lupa kalau kamu punya hati
Ada yang tak ingin dilerai
Ialah ragu untuk meninggalkan mati
Cinta,
Apakah gerangan masih ada di sana?
Bukankah ia halnya masa lalu dan dilema?
Kalau aku mulai buka hati
Apakah semesta 'kan percaya?
Lalu datang dan yakin begitu saja
Tanpa perhitungan di antaranya
*lensalimalima
Mahaka viewed your story
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM OF ME [ILUSI]
ChickLitArtis Levenali, anak kedua dari tiga bersaudara. Sukanya motret dan nulis puisi, kuliah Manajemen buat nurutin orang tua demi jadi penerus galeri lukis dan jadi tameng biar hobinya nggak ketahuan Ayah. Bagi Mahaka (cowok kenalan Artis di aplikasi su...