Bab 9. Indera

178 27 37
                                    

Takjub.

Entah sudah berapa lama aku masih memandangi lukisan Rimba. Hingga satu per satu pengunjung berdatangan dan menelisik apa yang ada di hadapanku kini. Nuansa latar merah bercampur cokelat dan oranye menguarkan aura gelap. Seorang wanita bertelanjang dengan rambut terurai, kepalanya terangkat—mendangak—dengan mata terpejam. Sejumlah telapak tangan manusia menutupi sekujur tubuhnya. Menjamahi. Terjamahi. Dijamahi. Tiga kata itu yang muncul dalam benakku. Apa yang terjadi pada wanita ini? Nasibnya tampak tidak mujur di tangan Rimba.

"Ayo," ucap Rimba di ujung telepon.

Aku menoleh ke seantero galeri, mencari sosok pemuda itu. Di sana, di ambang pintu dia melambaikan tangannya seraya tersenyum.

Rimba bilang sekarang ini dia akan membawaku ke acara musik jazz di Kemayoran.  Katanya acara dimulai jam 5 sore ini.

"Rim, tadi lo kenapa langsung pergi? Pas gue bilang ... gue percaya sama lo." Aku mencoba konfirmasi atas tindakan Rimba tadi di galeri. Alih-alih menyapa pengunjung, dia malah menghilang dari sekitaranku.

Namun, bukannya menjawab Rimba malah menoleh dan menelisikku sekilas, kemudian tersenyum. Apa-apaan sih dia?

"Rim...."

"Harus banget gue jawab?" tanya Rimba tanpa menoleh ke arahku.

Inilah kebiasaan Rimba yang paling aku nggak suka. Sering seenaknya kalau lagi ngobrol seperti ini. Salah satu kebiasaannya yang membuatku jengkel, setelah poin pertamanya ... mengejek.

"Ya, soalnya lo kayak nggak percaya gitu kalau gue percaya sama lo," cetusku sembari memandangi kaca spion yang memunculkan kendaraan di belakang.

"Terus, lo maunya gimana? Gue juga bilang kalau gue percaya sama lo sampai saat ini?"

Kuembuskan napas pelan. "Ya, nggak gitu juga."

"Gimana sih? Jadi yang benar iya atau nggak?" tanya Rimba dengan gaya jayus-nya.

"Rimba, udah deh ... males gue ngomong sama lo nggak pernah bener."

"Namanya juga anak hutan, mana paham anak hutan soal kasih kepastian?" ucap Rimba yang aku tak paham apa maksud sebenarnya.

"Gue nggak lagi bilang lo anak hutan ya, Rimba," kataku menoleh ke arahnya kemudian kuembuskan napas berat.

Lampu lalu lintas menyala merah, Rimba menghentikan kendaraannya. "Terus maunya main apa? Main hati?" tanya Rimba seraya menatap mataku tajam.

Sejujurnya, aku terganggu dengan tatapan itu. Kucoba menelisik makna tersirat dari bola matanya, Rimba memang benar-benar serius. Seolah mengirimkan hasrat yang begitu dalam dari dirinya. Namun, aku tidak tahu hasrat apa yang sedang dia sampaikan. Tatapan itu kini menjalar, menelusup ke tenggorokkanku, menjalar terasa sampai ke tulang rusukku, kemudian hinggap di relung jantungku—membuatnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Cepat-cepat kupalingkan pandangan ke arah lain.

"Kenapa muka lo merah? Deg-deg-an?"

Rimba memang tukang ejek yang sialan. Ingin rasanya kujambak cepol rambut itu. Kubuang kuncir rambutnya, biar rambut panjangnya tergerai dan membuat Rimba kerepotan. Namun, pemuda itu justru tersenyum simpul dan sekilas menunjukkan baris giginya.

Lampu kembali menyala hijau dan Rimba telah menjalankan kendaraannya lagi. Aku pun mengeluarkan buku catatan yang diberikan Mahaka. Kucoba membuka halaman pertama.

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang