Kupikir rumah sudah sangat sepi, tetapi suasana riang masih menyelimuti di jam malam begini. Belakangan ini, Ayah dan Ibu kelihatan lebih ringan menjalani kehidupannya. Mereka jarang mencariku, jarang memberiku wejangan tiap sarapan pagi. Jarang memperhatikan aktivitas yang kulakukan. Jarang melakukan panggilan skype dan membicarakan soal galeri denganku. Aku sebetulnya nggak tenang dengan keadaan yang tenang begini. Mustahil orangtua seperti Ayahku membiarkan aku menikmati hari-hari menjalaninya dengan penuh kedamaian. Apa jangan-jangan ini jebakan buatku? Atau, justru kesempatan buatku mengajukan permintaan? Kayaknya ketenangan Ayah dan Ibu ... karena Rimba sudah mengambil tanggung jawab mengurus galeri dan Bang Okta sudah kembali ke rumah. Tapi, bukankah perubahan ini terlalu mencolok? Aku jadi merasa ada yang nggak beres dengan situasi ini. Tapi, apa?
"Hei, dari mana? Habis ketemu Myisha?"
Bang Okta yang sedang menuruni anak tangga berhasil menemukanku yang berlawanan arah dengannya. Bisa kulihat gerutan di dahinya dan alisnya yang baru saja merenggang ketika bersitatap denganku. Kelihatannya Bang Okta baru saja mendapat masalah atau … mungkin baru saja menyelesaikan masalah di kantornya. Tapi rasanya aneh. Kenapa dia bisa tahu kalau aku habis bertemu Myisha? Apa dia memata-mataiku? Atau, dia dapat laporan gratis dari pegawai galeri?
Aku mengerutkan dahi. "Tahu dari mana?"
"Sore tadi Myisha kontek gue, kasih info kalau lo bakal balik malam," tutur Bang Okta yang justru memunculkan pertanyaan lagi dalam kepalaku.
“Lo kenal Myisha? Sejak kapan lo kenal sampai bisa chat-an sama dia? Seingat gue, lo nggak pernah gue kenalin ke temen-temen gue.”
Dia nggak menjawab pertanyaanku. Bang Okta justru kembali menuruni anak tangga. "Ada Ayah, Ibu, dan Kania di ruang keluarga, lo udah ketemu?"
Semakin Bang Okta mengalihkan pertanyaanku semakin aku berpikir kalau saat ini, situasi memang sedang nggak baik-baik aja buatku. Kenapa Myisha bisa kontak Bang Okta? Sejak kapan mereka tukeran nomor ponsel? Kapan mereka ketemunya? Myisha aja nggak pernah cerita atau nanya-nanya soal Bang Okta. Apa dia bohong?
Aku masih mengerutkan dahi, ada Kania katanya. Aku nggak merasa bertemu dengan pacarnya itu jadi hal yang penting. Aku pun beranjak menaiki anak tangga sembari kutinggikan kedua sudut bibirku, hingga kedua mataku menyipit karena senyum lebar yang kuberikan pada Bang Okta. "Makasih deh, gue ngantuk."
Namun, saat aku baru saja menaiki dua anak tangga lagi, Bang Okta berhasil menghentikan langkahku dengan kata-kata bijak yang dia ucapkan, terdengar seperti salam perpisahan buatku. Rasanya memang betul seperti ada yang salah dari kedamaian yang kurasakan belakagan ini.
"Apa pun jalan yang lo pilih, gue pasti dukung dan gue bakal yakinin Ayah buat izinin lo ngelakuin itu." Bang Okta melangkah meninggalkan sisa jumlah anak tangga. Dia berjalan menuju ruang keluarga dan aku pun meneruskan langkahku menuju ruang pribadiku. Namun, saat aku baru saja memasuki kamar dan menutup pintu, ponselku berdering.
Yeremy is calling ...
Itu adikku, si bungsu yang paling penasaran akan banyak hal. Kenapa dia meneleponku di malam hari begini? Aku ingat betul yang sering dipesankan Bang Okta pada kami saat dia meninggalkan rumah, "kalau ada salah satu diantara kita yang menghubungi satu sama lain, artinya ada hal penting yang terjadi sama Ayah dan Ibu".
Kali ini Yemy justru meneleponku. Namun, Ayah dan Ibu baik-baik saja berada di sini. Lalu, apa masalahnya? Apa ini ada kaitannya dengan Eyang? Atau, Yemy sendiri mengalami kesulitan di sana? Anak itu sudah lima belas tahun, mungkin saja dia memang betul-betul kesulitan mempersiapkan dirinya buat jadi anak kuliahaan dua tahun lagi. Atau, apa ini ada kaitannya dengan ketenangan yang kurasakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM OF ME [ILUSI]
Chick-LitArtis Levenali, anak kedua dari tiga bersaudara. Sukanya motret dan nulis puisi, kuliah Manajemen buat nurutin orang tua demi jadi penerus galeri lukis dan jadi tameng biar hobinya nggak ketahuan Ayah. Bagi Mahaka (cowok kenalan Artis di aplikasi su...