Mentari baru saja muncul. Cahaya nya merata menyemburat pada setiap yang dilaluinya, walau terlihat masih saja ada bayangan hitam, namun dominasi cahayanya tetap saja menang pagi itu. Sudah beberapa hari ini mentari memang selalu saja menang, bahkan sampai mentari itu hilang di peraduan senja. Padahal seharusnya bulan ini hujan turun di sela-sela semburatnya, memberikan sedikit semburat yang lain pada setiap makhluk hidup yang kehausan. Ah....sungguh ku rindu dia, sang hujan...banyak sekali keberkahan yang turun bersamanya, ingin sekali ku berada di bawahnya, menengadahkan tanganku menerima beribu-ribu tetesan air yang turun. Masih menunggu di sini, di atas balkon ini. Kitab suciku masih berada di tanganku, sesekali ku melihat ke bawah menelisik beberapa orang. Jangan sampai mereka melihatku. Ku tertawa kecil.
Tiba..tiba....
"kaiiiiiiiii..........."
Ku mengerjap dalam lamunanku, suaranya melengking di telinga, beberapa kali ia ulangi lengkingan suaranya, ya....aku kenal suara itu....
"kaiiiii.....Madza Ta'malien Anti....?" tanyanya mengagetkan ku
"biasa...hehe..."ku tertawa
"kamu dicariin tuh...."
"sama siapa? Hem...pasti sama ustadzah...."
"yup...cepetan sana..., nanti beliau ghodob"
"ok, " ku bergegas....
***
Teringat dalam satu subuh, sosoknya begitu dekat dengan ku, belaian tangannya senantiasa menyentuh ujung Rukuh ini. Aroma kasturi putih tak lepas dari penciumanku saat itu....
"neng Kairo masuk pesantren ya..."
"tapi eneng pengen masuk SMP kayak Rani Abah...." Tangisku perlahan buncah meneteskan bulir-bulir kesedihan
"eneng tau Mesir....?"
"yang banyak bangunan kayak segitiga itu Bah....? Ummi suka cerita sama Kairo,...."
"kenapa Abah kasih nama eneng itu dengan nama Kairo...?" Tanya nya dengan senyuman
"kata Ummi biar eneng nanti bisa kesana Bah..., menuntut ilmu di negeri para Nabi...." Celotehku
"eneng mau menuntut ilmu di negeri para Nabi...? Di salah satu Universitas Islam tertua di Dunia....?
"mau Abah...mau...."
"eneng harus belajar ilmu agama, menghapal Al-Qur'an sama Pak Kiayi..."
Aku terdiam, Abah menatapku tak biasanya, terasa sekali tatapan itu begitu teduh, terpancar rona pengharapan dari kedua mata yang terlihat sudah mengkerut di sisi-sisinya...ya...mulai saat itu aku sadar, harapan Abah adalah harapan ku juga, keinginan Abah adalah keinginanku juga, jauh di dasar hatiku, aku menginginkannya, menuntut ilmu di negeri para Nabi...........
"Kairo....!"
Lamunan ku kembali buyar, kali ini sekujur tubuhku bergetar, aku merasa, kaget...
"astaghfirullah, iya Ustadzah...afwan" senyumku tiba-tiba mengembang saat itu, seolah mengharapkan kemakluman dari sosok wanita anggun yang berada di depanku.
"pagi-pagi udah ngelamun, nggak baik Kai...."
Senyumannya sampai saat ini masih membuatku teduh, lesung pipitnya menambah keangguanan sosok yang selama ini senantiasa selalu membimbingku dalam hal hapalan Al-Qur'an, namun tak biasanya beliau memanggilku pagi-pagi seperti ini, mengingat setoran hapalanku hanya pada hari-hari tertentu dan bukan pula pada pagi-pagi seperti ini. Rasa heran menyeruak dalam fikiranku, apakah ada tugas khusus yang akan menantiku, atau beliau tanpa sepengetahuannku mengganti jadwal hapalanku....?
YOU ARE READING
Antara Riyadh dan Kairo
Teen Fictionkeinginanku ingin sekolah di negeri Piramida, apakah aku bisa...? sedangkan aku hanya putri dari seorang buruh cuci pakaian santri... -Kairo- keinginanku ingin sekolah di Haramain...seperti para ulama bangsa -Riyadh- kisah ini tentang kehidupan in...