EM03 #Accidental Meeting

493 60 3
                                    



««»»



Dalam sebuah keluarga, bukankah privilege terbesar adalah terlahir sebagai anak bungsu?

Sebagian mungkin akan setuju, sebagian lagi mungkin tidak.

Lahir menjadi anak terakhir, anak yang paling kecil, anak yang paling muda, dengan satu, dua, tiga, atau lebih kakak di atasnya. Bisa dibayangkan sebanyak apa kasih sayang yang akan didapatkan?

Meskipun anak bungsu juga kadang menjadi bulan-bulanan kakaknya. Setiap bertengkar, entah karena berebut mainan, berebut remot, berebut makanan, anak bungsu yang akan menangis atau sekedar mengadu kepada ibunya. Dan ibu akan berkata, "kak, ngalah dong sama adiknya."

Jangan salah, terkadang pertengkaran kecil juga sebagai wujud kasih sayang kakak kepada adiknya. Segala kejahilannya juga bisa menjadi cara mereka berkomunikasi. Atau panggilan-panggilan aneh yang ditujukan kepada adiknya, bukankah itu terdengar lucu?

Sayangnya, Han tidak pernah merasakan bagaimana asyiknya menjadi anak bungsu. Penjelasan di atas tidak ada artinya sama sekali. Begitu juga cerita dari teman-temannya di sekolah yang hanya bisa dia dengar dan membatin penuh iri, tanpa bisa bercerita balik tentang kakak-kakaknya.

Bahkan teman-temannya sering mengira jika Han adalah anak tunggal. Anak tunggal yang manja, berlimpah kasih sayang sekelas anak mama yang sering sembunyi di dalam dekapannya.

Anak mama?

Han hanya tersenyum sinis begitu kata itu dilontarkan ke arahnya. Dalam hati Han mencibir, bahkan aku sendiri tidak tahu, aku ini anak mama atau bukan? Rasa-rasanya bukan. Ah, entahlah. Yang penting aku hidup.

Hidup dalam kegelisahan. Hidup dalam kecemasan. Han tak begitu memiliki hidup yang tenang. Karena ketenangan, hanya nampak pada luarnya saja. Di dalam dirinya, hal-hal lain terus bergejolak. Jika, kenapa, bagaimana, akankah, seandainya, harusnya, ah, kata-kata yang terus berputar di pikirannya tanpa henti.

"Mas, mas."

"Eh, ya." Han tersentak dengan tangan barista kafe yang bergerak-gerak di depan wajahnya.

"Ini kopinya."

Seungwoo lantas tersenyum dengan ramah. "Makasih, Mas."

Dengan kopi di tangannya, ia segera berlalu dari sana dan berjalan 200 m menuju kantornya.

"Selamat pagi, Pak Han."

Han tersenyum dan mengangguk kepada Pak Joko, satpam yang selalu menyapanya dengan hangat di pintu masuk. "Pagi, Pak Joko."

Dan sapaan lainnya di pagi hari dari beberapa karyawannya. Han boleh jadi tak dianggap oleh keluarganya, tapi di kantor ini ia disegani karena keramahan dan juga kebaikannya.

"Pak Taejin." Panggil Han ketika ia membuka pintu kantornya dan mendapati Omnya sudah duduk di kursi tamu.

Han menutup pintu dan segera ikut duduk di sana. "Pagi sekali Pak Taejin datangnya."

Taejin terkekeh, "kamunya yang kesiangan."

"Ada perlu apa, Pak?" Tanya Han begitu ia sudah duduk di depan Taejin.

"Tentang rencana kamu kemarin,"

"Ah..." Han tersenyum dan menunduk.

"Om gak bisa, Han. Om keberatan kalau kamu resign dari perusahaan ini."

Han mendongak menatap pamannya itu. Raut wajah Taejin terlihat menyesal.

"Kenapa, Pak?"

Taejin menggeleng, "lihat aku sebagai Om kamu, jangan atasan kamu. Alasannya jelas, Han. Om butuh kamu di sini."

Embrace Me | Han Seungwoo X OC ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang