[SPECIAL] Ardino Nawang Abimanyu

776 123 2
                                    

❤️ HAPPY 29K+ VIEWS ❤️


❤️❤️❤️

Desember, 2005. Akhir tahun di mana sebuah rasa yang murni muncul dalam perasaan Ardino Nawang Abimanyu. Seutas senyum dapat terukir di bibir kecilnya yang indah kala itu.

Di usia yang amat belia, sembilan tahun, Abi yang tak mengenal apa itu cinta, entah mengapa menemukan cinta pertamanya. Tidak, bukanlah entah mengapa, melainkan bagai di takdirkan, hatinya jatuh pada gadis kecil dengan syal berwarna merah yang melingkar di lehernya.

Tanpa ia ketahui, perhatian dan kehangatan gadis itu sudah lebih dahulu di rampas oleh adik sepupunya, Kaihzar Arka Putra. Arka-lah yang menemuinya lebih dahulu, dia juga yang dapat menghapuskan kesepian yang menyelimuti gadis kecil itu, dan ialah juga yang mendapatkan tatapan hangatnya.

Bukan satu-dua kali langkahnya terhenti karena kalah cepat dengan Arka. Abi selalu kehilangan timing untuk hanya sekedar mencapai gadis kecil terkasihnya itu.

Pada suatu hari, Abi meminta kepada Ibu-nya untuk merajut sebuah sweater untuknya. Bukanlah sweater rajut berwarna putih yang menjadi khas-nya, namun ia meminta di rajutkan sweater berwarna merah, warna yang identik dengan Arka.

Sudah berulang kali Abi pergoki bagaimana Arka dan Thalia kelihatan serasi dengan warna yang di kenal berani itu. Arka dengan sweater rajut berwarna merah yang melekat di tubuh kecilnya dan Thalia yang melilitkan syal rajut berwarna merah di lehernya.

Pada hari di mana Keluarga Putro berkumpul, Abi mendapat hadiah kecil berkat permintaannya pada Ibunya. Tanpa di minta, Ibu Abi pun merajutkan sebuah sweater berwarna putih untuk Arka. Sehingga mereka memotret momen hangat itu dengan sweater pemberian Ibu Abi.

Potretan itulah yang membuat si Thalia dewasa bimbang saat melihat bingkai foto di ruang tamu rumah tua keluarga kecil Arka. Ia salah sangka berkat sweater merah yang identik dengan cinta pertamanya itu.

Kenangan buruk tentang Thalia yang tak tersimpan di memori Abi adalah momen terburuk dalam kehidupannya, Thalia, dan juga Arka. Awal tahun yang seharusnya menjadi pembuka tahun 2006 yang penuh keberuntungan, namun itu adalah hari di mana hanya si lelaki kecil lima tahun Arka yang mengingatnya seorang diri.

Hari di mana langkah Abi tak lagi keduluan oleh Arka, hari di mana untuk pertama kalinya ia dapat berdiri dengan penuh percaya diri di hadapan gadis kecil terkasihnya itu malah menjadi kenangan semu yang bahkan tak bisa tersimpan di memorinya.

Rasa sesal-lah yang menggerogoti memori itu sehingga ia tak bisa mengingat kejadian naas yang hampir menghilangkan nyawa dua sejoli kecil yang berharga.

Tangan dan matanya bergetar, tidak hanya itu, sekujur tubuhnya bergetar saat melihat gadis kecil itu jatuh ke dalam sungai, kemudian Arka menyusulnya dengan segala keberanian yang sembrono---Mengingat Arka tidaklah pandai berenang.

Tubuh yang melemas dan penglihatan yang mulai kabur mengantarkannya pada alam bawah sadarnya. Tubuh kecil tergeletak tepat di sisi kaki Ibunya.

"Abi! Putraku!"

Hari-hari semakin terasa sulit. Entah beban apa yang terpikul di bahu kecil Abi. Namun, setelah ia sadar, ia tak bicara. Ia hanya menatap kosong kebun tua di luar jendela kamarnya.

Selama tujuh hari, yang ia lakukan hanya tidur di malam hari, kemudian bangun di pagi hari, lalu sepanjang hari yang ia lakukan hanya duduk di sisi ranjangnya dan menatap kebun tua itu.

Arka yang sudah tak di penuhi amarah masuk ke dalam kamar Abi. Hanya duduk di samping sepupunya itu. Begitulah hari-hari berikutnya.

Arka kembali duduk di sebelah Abi yang masih terdiam di hari ke dua belas setelah kejadian naas itu. Hari di mana little Arka menginjak usia delapan tahun, 14 Januari 2006.

"Ka."

Arka membulatkan matanya saat Abi bersuara. Arka hendak berdiri untuk memanggil keluarganya karena untuk pertama kalinya Abi mengeluarkan suara yang sudah di rindukan itu.

"Di mana Tata?"

DEG. Nafas Arka tersenggal, detak jantungnya berdetak cepat, dan giginya bergigit erat bibir bagian dalamnya. Ia menatap Abi dengan mata yang berkaca-kaca. Tiba-tiba saja ia emosional.

"Kenapa kamu nggak main sama dia di kebun tua itu?" Dengan tatapan kosongnya, Abi menunjuk kebun tua itu.

"Mas..." Arka menatap iba Abi yang nampak kacau itu.

Arka kecil berlari keluar kamar dan membawa keluarga kecil Abi. Ibu dan Ayah Abi mendekat perlahan pada putra kecilnya itu.

"Abi? Ibu disini."

"Ibu."

Ibu Abi menangis sesenggukan sambil memeluk putranya yang berharga itu.

"Mas Abi kehilangan memori pada hari itu, Bun." Arka yang berada di ambang pintu kamar Abi bersuara.

Bunda Arka merangkul bahu kecil putranya itu, "Mungkin ini lebih baik, nang." Bunda Arka berlutut di hadapan Arka, "Bunda harap kamu juga bisa menghapus momen itu. Bunda nggak mau kamu tertekan." Wanita berusia tiga puluhan itu meneteskan air matanya.

"Arka janji untuk hidup tanpa mengungkit kejadian itu agar keadaan Mas Abi membaik. Bunda, jangan khawatir."

Bunda Arka memeluk putra kecilnya yang tulus itu, "Kamu akan baik-baik saja. Bunda bersamamu, nang."

*****

Hari kepergian Arka dan keluarga ke Jakarta membuat Keluarga Putro berkumpul. Arka menunggu barang-barangnya di angkut dan memilih menunggu bersama Abi yang tengah duduk di kursi goyang depan rumah Arka.

"Menurutmu, bagaimana kabar Tata?"

DEG. Perasaan berkecamuk saat nama cinta pertamanya itu terucap kini membara lagi.

"Aku penasaran bagaimana kabarnya. Kenapa dia tiba-tiba meninggalkan Jogja? Aku dengar Kakek dan Neneknya juga pindah rumah."

Abi terus mengoceh tanpa tahu betapa menyakitkannya memori tentang Tata bagi Arka.

"Lanang, ayo pergi!" Bunda Arka bersuara dari sisi mobil.

Arka bangkit dari kursinya, kemudian menatap Abi. Arka menghembuskan napasnya

"Mas, aku harap kamu hanya akan mengingat kenangan yang baik."


[SEE U ON "CHAPTER 42 : Brother's Love"]

Dearest ThaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang