Part 12 : Ternyata Dia

1.5K 77 7
                                    

Arin mengambil ponselnya, kemudian ia mengirim pesan ke orang yang mengajaknya bertemu di Monumen Nasional.

"Gue udah sampe, lo dimana?"

Tak lama ia menunggu, sang pengirim pesan misterius itu sudah membalasnya.

Kring!

"Depan pintu masuk. Kesini saja, saya mengenakan hoodie hitam."

Gadis itu melangkahkan kakinya pergi menuju ke pintu masuk. Ia melihat seseorang yang sedang berdiri, seseorang itu tampak mengenakan Hoodie berwarna hitam, dengan balutan celana levis panjang berwarna hitam juga. Si pengirim pesan misterius itu sepertinya sengaja menutupi kepalanya dengan kupluk hoodienya. Selain itu, ia juga menutupi mulutnya dengan maskernya. Arin menghampiri si pengirim pesan misterius, kemudian mencolek pundaknya.

Si pengirim pesan misterius itu menoleh, ia memperhatikan Arin intens.

"Kamu Arin?" Tanyanya.

Arin mengangguk singkat. Ia memperhatikan si pengirim pesan misterius yang berada tepat didepannya. Kemudian si pengirim pesan misterius itu membuka kupluk beserta maskernya.

Betapa terkejutnya Arin ketika melihat si pengirim pesan misterius itu. Ia kenal dengan si pengirim, walaupun tidak sepenuhnya mengenali banget. Tapi setidaknya ia sudah mengetahui siapa yang selama ini mengirimi pesan misterius untuknya.

"Kaget?" Tanyanya.

Arin hanya menggeleng singkat.

"Saya Wilia. Kamu pasti sudah tidak asing lagi dengan saya. Kamu dan saya sebelumnya pernah bertemu si Yogya. Saya kesini karena perintah dari seseorang." Ucapnya sambil mengulurkan tangannya, Arin membalas uluran tangan itu, kemudian gadis itu lebih memilih untuk berkalut didalam pikirannya sendiri.

Wilia? Oh, jadi nama perempuan yang waktu itu Arga rangkul adalah Wilia.

"Lo Wilia yang pacarnya Arga kan?" Tanya Arin.

Wilia tertawa. "Hahaha, tidak. Bukan. Saya bukan pacarnya."

"Terus kenapa waktu itu lo mesra banget sama Arga?"

"Karena disuruh."

"Disuruh siapa?"

"Arga." Balasnya singkat masih dengan wajah datar.

Arga? Yang menyuruh? Motifnya apa?

"Buat apa Arga nyuruh lo begitu?" Tanya Arin penasaran.

"Apa harus saya beritahu semuanya?"

"Harus lah. Lo sendiri yang udah mengganggu hidup gue dengan deretan pesan misterius lo itu yang ga jelas, juga telepon misterius yang ga gue tau siapa peneleponnya."

Wilia tersenyum simpul. "Yang menelpon mu itu Arga. Yang mengirim pesan kepadamu, itu saya."

"Motif lo berdua apa? Sengaja mau bikin hidup gue ga tenang?" Tanya Arin sarkas.

"Tidak, bukan begitu."

"Terus apa?"

"Saya dan Arga terpaksa berakting biar seakan-akan kita terlihat seperti orang pacaran, padahal nyatanya kita berdua tidak pacaran. Saya ini sepupu jauhnya Arga." Jelas Wilia.

Arin terdiam sambil meresapi perkataan Wilia.

"Arga itu masih sangat menyayangimu Arin." Sambungnya.

"Kalo dia sayang sama gue, kenapa waktu itu dia malah tinggalin gue?"

"Itu karena dia terpaksa."

"Terpaksa kenapa?"

"Arga memiliki riwayat penyakit yang ia derita sejak 3 tahun yang lalu. Dokter yang menangani Arga juga bilang jika umur Arga tidak akan lama lagi. Oleh karena itu, Arga lebih memilih untuk mutusin kamu, disaat kamu dan dia masih duduk di bangku kelas XI. Ia tidak ingin kamu menderita jika suatu waktu Arga pergi meninggalkan mu untuk selama-lamanya, terlebih lagi disaat hubungan kamu dan Arga sedang bahagia-bahagianya."

Tanpa sadar, air mata Arin mengalir deras dipipinya yang mulus. Ia tidak menyangka jika seseorang yang sangat ia sayangi dimuka bumi ini memiliki penyakit yang ia derita 3 tahun silam, bahkan dokternya pun bilang jika umur Arga tidak akan lama lagi.

"Yang kemarin kamu lihat saya sedang dirangkul oleh Arga di Yogyakarta, itu hanya akting. Arga hanya ingin membuatmu jadi membenci dirinya. Supaya Arga dapat pergi dengan tenang. Terus yang waktu itu kamu melihat saya dan Arga yang sedang bercengkrama di Taman kampus, itu terakhir kalinya Arga melihat kamu, sebelum ia melakukan operasinya. Arga bilang jika ia ingin melihat kamu tersenyum, tapi sialnya Arga malah melihat mu menangis. Arga merutuki kebodohannya sendiri."

"Gue ga mungkin bisa membenci Arga. Gue masih cinta banget sama dia. Arga sakit apa? Dia dirawat dimana? Kenapa selama ini dia malah nyembunyiin penyakitnya dari gue?" Lirih Arin masih dengan tangisan yang memenuhi wajahnya.

Wilia mengelus pundak Arin, ia menenangkan Arin. "Maaf, saya mendapat amanah dari Arga untuk tidak memberitahu penyakit apa yang diderita oleh Arga. Tapi saya harap kamu mengerti, Arga sangat mencintaimu. Sangat, sangat."

"Temui gue sama Arga."

Wilia menolak dengan halus.

"Temui gue sama Arga." Ulang Arin sekali lagi. Air matanya masih saja mengalir deras dipipinya. Gadis itu tidak menyangka jika pria yang ia cintai ternyata sedang berjuang melawan penyakitnya sendiri.

"Baiklah, tapi besok."

"Gapapa, yang penting gue ketemu sama Arga. Makasih informasinya." Ucap Arin sambil memeluk Wilia erat. Ia menumpahkan semua tangisannya, beban yang ia rasakan sepertinya sudah cukup berat.

"Arga bilang ke saya, dia ga suka ngeliat kamu menangis. Walaupun dalam keadaan apapun, tetaplah tersenyum."

Arin tersenyum singkat. Senyum yang ia paksakan. Ia memikirkan bagaimana keadaan Arga sekarang. Ia hanya bisa berharap jika Arganya selalu dalam keadaan sehat.

"Saya hanya bisa berharap, kamu memaafkan semua kesalahan yang Arga perbuat. Arga sama sekali tidak membencimu, ia bahkan sangat mencintaimu. Cinta yang ia berikan kepadamu sangatlah besar, melebihi cintanya kepada dirinya sendiri." Ujar Wilia yang langsung membuat Arin terdiam.

***

m00d nya bagus jadi update terus

Argarin 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang