4. Ancaman Nara

988 236 166
                                    

Suasana belajar di kelas XI MIPA 1 cukup tenang. Seorang guru berperawakan tinggi sedang menjelaskan materi anatomi tubuh manusia.

"Apakah ada pertanyaan?" Guru berkacamata itu melemparkan pertanyaan kepada muridnya disesi tanya jawab pada akhir jam pelajaran.

"Pak ini kan udah jam setengah 10, tapi kok bel istirahat belum bunyi ya?" Sontak pertanyaan salah satu murid laki-laki yang duduk di bangku paling belakang membuat seisi kelas tertawa kecuali sang guru.

"Apa ada pertanyaan yang lain?" Bukannya menjawab pertanyaan muridnya, sang guru malah kembali melontarkan pertanyaan dengan suara lantangnya.

"Pak, kenapa bapak tidak menjawab pertanyaan Farel?" kali ini seorang murid perempuan yang bertanya. Hal tersebut juga membuat seisi kelas kembali tertawa.

Guru berusia sekitar 50 tahun-an itu menatap muridnya dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Wajahnya cengo. Sepertinya sebentar lagi kumisnya akan bertumbuh lebih lebat.

Bukannya bertanya mengenai materi pelajaran, namun malah hal lain yang ditanyakan. Itulah kelas XI MIPA 1 dengan prinsip 'yang penting aktif bertanya'.

"Sepertinya kalian semua sudah paham mengenai materi hari ini. Sekian dari Bapak, terima kasih." Bukannya menjawab pertanyaan muridnya, sang guru malah menyudahi jam pembelajaran.

Untung saja murid di kelas XI MIPA 1 ber-IQ cukup tinggi, sehingga guru di SMA Tunas Bangsa tak pernah marah jika saat sesi pertanyaan di akhir jam pelajaran malah dijadikan bahan lelucon seperti ini. Terbukti dengan peringkat pararel bagian atas yang sering dihuni oleh kelas ini.

Namun, bukan berarti pada saat jam pembelajaran mereka tidak serius. Ada kalanya mereka akan bersikap konyol di depan gurunya.

Akhirnya bel istirahat berbunyi. Kali ini tidak semua murid kelas XI MIPA 1 segera bergegas ke kantin. Tapi, sebagian besar dari mereka malah memilih untuk menonton pertandingan basket di lapangan.

Riuh tepuk tangan terdengar sesekali saat seorang pemain berhasil mencetak poin. Para siswi yang menonton dengan heboh meneriakkan nama Elang.

Ya, Elang Narendra. Namanya memang sudah terkenal walaupun baru dua hari bersekolah di SMA Tunas Bangsa. Penggemarnya pun cukup banyak. Mulai dari adik kelas, teman seangkatan bahkan kakak kelas. Sepertinya mereka tertarik dengan paras tampan Elang.

Bagaimana tak tampan? Elang memiliki wajah oval dengan alis tebal, kedua bola mata yang sipit, hidung mancung, ditambah lagi saat dia berbicara akan membuat banyak orang menyimak. Cewek-cewek pun dapat terkesima hanya dengan sekali tatap.

Alicia yang awalnya sibuk mengerjakan latihan soal olimpiade saat ini ikut berada di kerumunan itu. Tentu saja bukan atas kehendak Alicia sendiri. Tapi, gadis polos ini ditarik paksa oleh Laras.

Sudah beberapa kali Alicia mencoba beranjak pergi dari kerumunan itu. Namun, Laras selalu menahannya untuk tak kemana-mana dan menikmati pemandangan yang indah ini.

"Wah gila! Itu si Elang jago banget main basketnya ya Ci," kata Laras dengan antusias.

"Iya," jawab Alicia singkat.

Jujur saja Alicia tak suka berada di tempat ramai seperti ini. Lebih baik dirinya berada di kelas sendirian dan mengerjakan latihan soal olimpiade.

"Semangat Elang! Ayo Lang cetak poin terus!" teriakan Laras yang tak kalah heboh dengan penonton lain membuat Alicia menutup telinganya.

Tiba-tiba bola basket yang sedari tadi diperebutkan kedua tim menggelinding ke arah penonton dan berhenti tepat di depan Alicia.

Alicia pun segera berjongkok untuk mengambil bola tersebut. Namun pada saat kedua tangannya memegang bola ada dua tangan lain yang juga memegang bola oranye itu.

Tak Harus SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang