Dapur berbentuk persegi dengan ukuran 4×4 meter saat ini dipenuhi dengan suara bising mixer. Seorang gadis berkulit putih nan semampai kini sedang membuat adonan cupcake.
Ia terlihat begitu sibuk dan serius. Sesekali ia mondar-mandir mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan. Gadis yang mengenakan apron biru itu terlihat mahir.
Saat adonan siap, Alicia menuangkannya ke dalam cetakan alumunium kecil berbentuk lingkaran yang telah diberi kertas cetakan kue. Dengan hati-hati ia melakukan kegiatannya itu.
"Wah, ada yang lagi sibuk masak nih." Kedatangan Siska membuat Alicia menoleh ke arah wanita itu. Ia berjalan dengan bantuan dua tongkat di kanan kirinya.
Alicia menghentikan kegiatannya. Gadis berkuncir kuda itu segera menghampiri sang mama dan membantunya duduk di kursi dapur.
"Iya, Ma. Mama mau minum?" tanya Alicia kemudian.
"Enggak, Mama mau lihat anak kesayangan Mama ini masak. Kayaknya enak nih." Sambil menyandarkan kedua tongkatnya Siska berkata.
"Semoga banyak yang suka sama kue buatan aku, Ma."
Alicia kembali berkutat dengan adonannya. Setelah siap gadis itu segera memasukkan nampan berisi cetakan yang telah diberi adonan ke dalam oven.
"Maafin Mama ya, Nak. Kamu jadi repot gini," ucap Siska dengan nada lirih. Ia tatap anaknya penuh haru.
"Mama nggak perlu minta maaf. Aku nggak repot kok." Alicia mendekati mamanya yang terlihat sedih. Ia usap pundak mamanya pelan.
"Oh, iya. Ini ide darimana Nak, kok kamu kepikiran mau jualan cupcake?" tanya Siska penasaran.
"Ini saran dari Elang, Ma. Katanya di kantin belum ada yang jual cupcake." Siska tersenyum mendengar jawaban anak tirinya itu. Ternyata Elang jenius juga. Sepertinya kejeniusan Mila menurun pada anak laki-lakinya.
"Semoga laris, ya," harap Siska sambil tersenyum manis.
Alicia mengamini perkataan mamanya barusan. Ia benar-benar berharap dagangannya akan laris manis. Besok pagi, gadis ulet itu akan menitipkan cupcake buatannya di kantin. Mungkin ini satu-satunya cara agar Alicia bisa membantu mencari uang sekaligus menjaga mamanya. Karena ia tak perlu meninggalkan wanita paruh baya itu di sore hari.
"Kalau udah selesai kamu buruan tidur ya, Nak. Jangan sampai kecapekan! Inget kesehatan kamu lebih penting daripada uang," lontar Siska. Kemudian wanita berhidung pesek itu meraih tongkatnya dan kembali ke kamar. Tentu saja dibantu oleh Alicia.
Setelah Alicia keluar dari kamarnya, Siska melihat sebuah benda yang akhir-akhir ini membuatnya geram tergeletak di atas kasur. Wanita itu mengembuskan napas sebalnya. Lagi-lagi kotak hitam. Bosan juga lama-lama.
Permainannya belum selesai, Siska!
Wanita berambut hitam sebahu itu menatap kertas lusuh yang ia pegang dengan tatapan jenuh. Apa tak cukup si peneror membuat kakinya patah tulang karena permainan tak jelas itu? Lalu, ia akan diajak bermain apa lagi?
🌻🌻🌻
Keesokan harinya setelah Alicia menitipkan cupcake-nya pada Mak Yati--salah satu pedagang di kantin, gadis itu segera berjalan menuju kelasnya dengan senyum mengembang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Harus Sempurna
Teen Fiction[ON GOING] Kesempurnaan bukanlah segalanya. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kalaupun ada, itu hanya berasal dari pikiran mereka yang menganggap bahwa dirinya sempurna. Karena pada dasarnya, hati yang menunjukkan ketulusan. Bukan penampilan yan...