"Woah, gila! Gue kalah hebat." Dion berdecak sebal sambil berkacak pinggang. Setelah mengatur napasnya yang terlihat sangat ngos-ngosan, ia berlari mengejar Elang.
Elang dengan keringat yang membanjiri wajahnya, kini memantulkan bola basket dengan lihai. "Ayo, Yon! Kemampuan lo segitu doang?" ejeknya pada Dion.
Dion yang tak terima segera melakukan aksinya; merebut bola yang Elang dribble. Ketika Dion ancang-ancang hendak merebut bola ke kanan, Elang memantulkan bola ke kiri. Badannya seolah menjadi tameng pelindung bola oranye itu dari Dion. Decitan sepatu keduanya yang menggesek lapangan indoor terdengar jelas di kesunyian malam.
"Wle ... nggak bisa. Ayo anak pintar ... sini-sini." Untuk kesekian kalinya, Elang menggoda Dion dengan memantulkan bola ke arah yang berlawanan. Oh, jangan lupakan wajah menyebalkannya.
Dion tetap berusaha untuk merebut bola temannya itu. Ia tak peduli dengan napasnya yang naik-turun cepat. Namun, keberuntungan sedang tidak berpihak padanya. Dari garis three point, Elang menembakkan bola ke dalam ring.
Tepat sasaran! Bola masuk ke ring dengan sempurna. Dafa yang duduk di pinggir lapangan berteriak memberi tahu bahwa waktu pertandingan antara Elang dan Dion telah usai.
Cowok dengan rambut agak gondrong itu tersenyum ke arah dua temannya yang terlihat kelelahan. Dafa memang jago dalam bermain basket. Bahkan, saat pertandingan High school Basketball Competition, tahun lalu, ia juga ikut bermain menjadi shooting guard yang bertugas untuk menembak bola dari jarak-jarak yang cukup jauh. Dan, kemenangan diraih oleh SMA Tunas Bangsa.
Elang dan Dion menghampiri Dafa dengan larian kecil. Ketiganya ber-tos ria tanda saling memberikan semangat. Dafa menyodorkan dua buah botol air mineral kepada temannya yang kini sibuk mengelap keringat.
"Parah sih. 2-1 skornya. Harusnya gue bisa cetak 5 poin," ujar Dion dengan tampang kecewa.
"Terimalah kekalahanmu, Nak." Elang tertawa meledek Dion yang kini cemberut.
"Udahlah ... cuma pertandingan boongan. Nggak usah serius-serius banget kalik, Yon. Lo sama Elang sama-sama hebat." Dafa yang sedari tadi melihat pertandingan sengit antar Elang dan Dion menengahi.
"Lo ngapain sih, Yon? Keringat lo bau tahu nggak!" gerutu Dafa saat Dion merebahkan tubuhnya di samping Dafa. Kedua kaki Dafa seolah menjadi bantal bagi Dion.
"Hah ... gue capek banget Babang Dafa. Kipasin dong ... gerah nih Dedek," ucap Dion seraya mengipasi leher dengan handuk kecil bekas keringatnya. Dafa menyentil temannya itu dengan tatapan jijik bercampur sebal.
"ALAY!" hardik Elang dan Dafa bersamaan.
Elang yang semula masih berdiri, kini segera duduk berhadapan dengan Dafa. Kedua kakinya ia selonjorkan. Salah satu tangannya mengelap keringat di dahi yang masih mengucur, sedangkan satunya lagi memegangi dadanya.
"Lang, lo masih ngos-ngosan?" tanya Dion tanpa menoleh. Deru napas Elang yang terengah-engah mampu ia dengar karena jarak mereka sangat dekat.
Elang tak menjawab pertanyaan Dion. Ia meneguk air mineral pemberian Dafa hingga sisa setengah botol.
"Lang, muka lo kok pucat gitu sih? Lo baik-baik aja?" Kali ini Dafa yang bertanya.
"Gue capek aja." Elang meletakkan botol air mineral di sampingnya. Sebuah senyum yang terlihat dipaksakan membuat Dafa menatapnya khawatir.
Dafa sebenarnya tak yakin jika Elang baik-baik saja. Pasalnya, cowok periang itu kini terlihat sangat lemas setelah bermain basket. Tatapan Dafa tiba-tiba beralih pada kaki Elang. "Eh, itu kaki lo bengkak, Lang?" tanyanya masih terus memerhatikan pergelangan kaki Elang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Harus Sempurna
Dla nastolatków[ON GOING] Kesempurnaan bukanlah segalanya. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kalaupun ada, itu hanya berasal dari pikiran mereka yang menganggap bahwa dirinya sempurna. Karena pada dasarnya, hati yang menunjukkan ketulusan. Bukan penampilan yan...