Di ruang berukuran sedang berbentuk persegi, seorang cowok bertubuh tinggi sedang melakukan salam di akhir salatnya. Kepalanya menoleh ke kanan lalu ke kiri. Cahaya remang-remang terpancar dari sebuah lampu tidur di atas nakas cokelat.
Cowok yang mengenakan kaus putih polos dengan bawahan sarung hitam kotak-kotak itu duduk bersila di atas sajadah panjang yang ia bentangkan. Dengan segala kerendahan hati dan penuh khusyuk, ia memanjatkan doa kepada Rabb-nya.
Jam menunjukkan pukul 3:00. Cowok berkulit putih cerah itu baru saja selesai melaksanakan salat tahajud. Ia lepas peci putih yang menutupi rambut hitamnya. Rambut yang agak gondrong itu terlihat sedikit basah karena air wudhu.
Handphone silver-nya yang terletak di atas kasur menyala tiba-tiba lantaran ada sebuah panggilan masuk. Ia segera meraih benda pipih itu setelah menyimpan peralatan salatnya.
"Hai, Daf!" sapa seseorang di telepon.
"Assalamualaikum, kalik," ucap Dafa membenarkan. Cowok itu memandang datar ke arah ponselnya yang menampilkan gambar dua teman baiknya.
"Oh, iya. Waalaikumsallam." Elang menggaruk tengkuknya sambil menyeringai lebar.
"Kenapa?" tanya Dafa to the point. Ia cukup bingung mengetahui kedua temannya menghubungi lewat video call sepagi ini.
"Apa kabar? Dion kangen tahu sama lo." Elang mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap.
"Enak aja. Gue nggak pernah kangen kalik sama si Kutub Es," protes Dion tak terima. Cowok itu mengucek matanya. Sepertinya ia baru bangun tidur.
"Alhamdulillah gue baik. Kok tumben kalian VC gue jam segini?" tanya Dafa sambil mengeluarkan buku kimia dari tasnya.
"Gue dikasih tahu Dion kalau lo tuh rajin salat tahajud. Makanya kita hubungin lo sepagi ini. Soalnya kalau nanti pasti lo bakalan sibuk banget," lontar Elang panjang lebar.
Dafa memang selalu melaksanakan sunnah di sepertiga malam. Orang tuanya lah yang membiasakan. Awalnya cowok itu merasa malas lantaran harus terbangun disaat sedang enak-enaknya tidur. Namun semakin beranjak dewasa ia merasa menjadi orang yang rugi jika meninggalkan kebiasaan baiknya itu.
"Nah, benar," timpal Dion sambil menguap.
"Heh, Dugong! Kalau menguap, mulut lo tuh ditutup. Kayak buaya nemu mangsa aja mangap-mangap," protes Elang disertai gelengan kepala. Ia merasa sebal dengan Dion lantaran kamera HP temannya itu terlalu dekat dengan wajahnya hingga mulutnya yang terbuka lebar itu terpampang jelas.
"Dia emang buaya kalik, Lang. Buaya darat. Hahaha," timpal Dafa terbahak-bahak.
"Songong lo sama anak sultan." Dion mengerucutkan bibir lantaran sebal.
"Hari ini olimpiadenya dimulai. Doain gue, ya." Kini Dafa berjalan ke arah sofa samping jendela. Ia takut mengganggu Aldo teman sekamarnya yang masih tertidur pulas.
"Pasti dong. Semangat, Bro! To do best!" ucap Elang menampakkan deretan gigi putihnya yang diberi behel biru tua berjajar rapi.
"Gue yakin lo bisa, Daf. Kalau ada soal yang susah, sebut nama gue tiga kali. Dijamin–" Belum sempat Dion menyelesaikan kalimatnya namun Elang memotong.
"Dijamin makin bingung." Perkataan Elang membuat Dafa terkekeh kecil. Berbeda dengan Dion yang terlihat menyimpan dendam kesumat terhadap Elang. Wajahnya tertekuk sebal.
"Makasih guys kalian emang best!" ujar Dafa. Ia geleng-geleng melihat tingkah laku kedua temannya yang memegang bantal tepat di depan kamera HP bak hendak saling perang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Harus Sempurna
Teen Fiction[ON GOING] Kesempurnaan bukanlah segalanya. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kalaupun ada, itu hanya berasal dari pikiran mereka yang menganggap bahwa dirinya sempurna. Karena pada dasarnya, hati yang menunjukkan ketulusan. Bukan penampilan yan...