21. Khawatir

473 38 59
                                    

"Selamat sore semuanya!" sapa seorang cowok bertubuh tinggi.

"Sore, Kak."

Sore ini lapangan basket SMA Tunas Bangsa cukup ramai dipenuhi sekumpulan murid laki-lakinya. Setelah beberapa hari yang lalu TB basketball mengadakan open member yang berujung seleksi bagi kelas X dan XI, kini saatnya pengumuman kelolosan itu tiba.

Seorang cowok berkulit putih mulus yang berdiri di tengah lapangan menjadi pusat perhatian. Ia menyebutkan satu persatu nama adik kelasnya yang lolos seleksi.

"Di sini gue sebagai kapten TB basketball mengucapkan selamat buat kalian yang lolos seleksi." Cowok berpenampilan kece itu melihat sekelilingnya dengan tatapan datar. Tak ada senyuman di wajah lonjongnya.

"Pesan gue, manfaatkan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. High School Basketball Competition adalah kompetisi yang dilaksanakan setahun sekali. Dan setiap tahunnya sekolah kita menyabet gelar juara. Gue harap kalian mampu mempertahankan itu," ucap sang kapten basket dengan suara lantangnya.

Semua diam mendengarkan perkataan Kelvin. Tampang garangnya membuat siapapun enggan menanggapinya. Mereka yang notabenenya adalah adik kelas Kelvin hanya menyimak dan sesekali mengangguk paham.

"Jadwal latihan akan gue bagi di grup WhatsApp. Sekian dari gue, sekarang kalian boleh pulang." Setelah mengucapkan pesan terakhir, Kelvin dan teman-teman seangkatannya membubarkan diri. Cowok-cowok yang lolos seleksi pun segera mengambil tas yang mereka taruh asal.

Namun tidak dengan Elang dan Dion. Keduanya memilih duduk selonjoran di pinggir lapangan yang mulai sepi. Kedua tangannya berada di samping sebagai penyangga. Semilir angin sore membuat rambut hitam Elang menari-nari.

"Akhirnya gue lolos seleksi dan jadi perwakilan buat HSBC tahun ini, Yon!" ucap Elang girang. Raut wajahnya terlihat begitu gembira.

"Congrats ya, Pren! Gue ikut senang. Tapi sayang, ya, kita cuma berdua." Raut wajah senang Dion berubah menjadi sedih ketika mengingat Dafa.

"Iya. Padahal Dafa juga jago basket. Tapi, dia lebih jago pelajaran fisika, Bro," lontar Elang sambil menepuk pundak Dion.

"Yoi. Nggak papa deh kita cuma berdua. Yang penting, gue, lo, sama Dafa tetap jadi cowok gantengnya SMA Tunas Bangsa. Hahaha." Elang terkekeh geli melihat raut wajah Dion yang berubah menjadi ceria. Rupanya mood cowok itu mudah berubah.

"Lo yakin sama ini, Lang?" tanya Dion tiba-tiba.

Elang mengembuskan napas berat, kemudian berkata, "Yakin."

"Kalau ketahuan sama orang tua lo gimana?" tanya Dion lagi. Ia menatap Elang khawatir.

"Itu risiko. Dan gue bakalan tanggung semua akibatnya." Elang menjawab pertanyaan teman baiknya itu tanpa menoleh. Sepertinya siluet senja lebih menarik dipandang daripada wajah Dion.

"Gue bakalan bantu lo kalau sampai ketahuan," tutur Dion sambil menepuk pundak cowok humoris di sampingnya itu. Senyum manis terlihat jelas di wajah tampannya.

"Thanks, Yon."

Elang memang tidak mendapatkan izin kedua orang tuanya untuk bergabung bersama TB basketball. Padahal berbagai cara telah ia lakukan. Mulai dari membeli sayuran di Mang Ucok –penjual sayur di komplek rumahnya. Cowok itu sengaja menggantikan sang mama berbelanja setiap pagi demi mengambil hatinya.

Namun tetap saja wanita itu tak memberi izin. Padahal ia sudah berkorban hingga beberapa hari terakhir telinganya dibuat geli oleh perkataan ibu-ibu yang juga berbelanja sayur di Mang Ucok. "Nak Elang, Ibu punya anak gadis, lho. Kapan-kapan main ke rumah Ibu, ya. Siapa tahu tertarik."

Tak Harus SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang