9. Pesimis

622 121 68
                                    

"Alicia! Dari mana saja kamu? Kenapa jam segini baru pulang?" Baru saja Alicia membuka pintu, sang Mama tiba-tiba menyambutnya dengan berbagai pertanyaan.

"Aku tadi kerja kelompok, Ma."

"Kerja kelompok apa sampai jam segini?" tanya Siska tak percaya.

Alicia terpaksa berbohong kepada mamanya. Memang wanita di depannya itu tak mengetahui jika kemarin ia melamar bekerja. Karena ia yakin, pasti sang mama tak akan mengijinkannya.

"Tugas sejarah, Ma." Sambil melepaskan sepatu, Alicia menjawab pertanyaan sang mama dengan asal.

"Mama tahu kamu sedang berbohong." Seketika Alicia menghentikan kegiatan melepas sepatunya. Ternyata kerja kelompok bukanlah alasan yang tepat. Alicia memang tak pandai berbohong.

"Aku mau mandi dulu ya, Ma." Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu pun segera pergi meninggalkan mamanya. Kalau terlalu lama disitu bisa-bisa ia akan ketahuan.

Siska hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku putrinya itu. Sebenarnya apa yang sedang Alicia sembunyikan darinya?

Siska pun beranjak masuk ke kamarnya. Ia melihat sebuah benda di atas kasur. Lagi-lagi kotak hitam. Padahal sebelum ia meninggalkan kamarnya tadi, benda itu tak ada. Bagaimana bisa tiba-tiba ada disini?

Tak mau berlama-lama penasaran, Siska pun segera membuka kotak itu. Kali ini isi benda tersebut bukanlah sesuatu yang menyeramkan seperti sebelumnya. Melainkan secarik kertas berwarna lusuh dengan tulisan tangan bertinta hitam.

Udah saatnya anak lo tahu!

Setelah membacanya, Siska mematung. Tulisan itu sungguh membuat dirinya terkejut. Bagaimana bisa orang itu mengetahui rahasianya?

Sudah sekian lama Siska melupakan fakta itu, tapi kini sosok misterius itu membuatnya teringat lagi.

Tidak mungkin Siska akan membongkar rahasia itu kepada Alicia. Sudah selama belasan tahun ia menyembunyikannya. Lagipula menurut Siska tak ada salahnya jika Alicia tak mengetahuinya.

Tak peduli dengan tulisan tangan yang baru saja ia baca, wanita bertubuh agak gemuk itu pun segera menyingkirkan benda yang membuatnya teringat akan hal yang terjadi enam belas tahun yang lalu.

Jangan sampai Alicia tau. Bukan bermaksud jahat Siska menyembunyikan semua ini. Namun ia hanya tak ingin putri semata wayangnya itu terluka. Bukan luka fisik memang, namun luka hati.

🌻🌻🌻

Malam semakin larut. Sinar rembulan terpancar terang dari atas sana. Seorang laki-laki berdiri di balkon kamarnya sendirian. Angin malam yang berhembus kencang seolah tak mampu membuatnya kedinginan. Atau mungkin, rasa dingin itu tak dirasakannya?

Untuk beberapa saat ia memejamkan mata mencoba melupakan segala pahitnya kenyataan.

"Elang, kenapa kamu belum tidur Nak?" Seorang wanita berperawakan tinggi mendekat ke arah Elang yang masih terdiam di tempatnya itu.

"Belum ngantuk, Ma," jawab Elang sambil tersenyum.

"Oh, iya, lain kali Mama enggak mau kamu pulang terlalu malam seperti tadi. Kondisi kesehatan kamu itu enggak seperti teman-temanmu, Sayang," ucap Mila—Mama Elang sambil menepuk pundak anaknya pelan.

"Iya, Ma."

"Kalau besok kamu pulang malam, Mama enggak akan biarin kamu sekolah di Tunas Bangsa lagi." Elang terkejut. Apa maksud sang mama mengancamnya seperti ini?

Tak Harus SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang