35. Pertandingan Basket

182 10 1
                                    

Matahari beranjak ke ufuk barat saat warga SMA Tunas Bangsa keluar dari kelasnya. Koridor dipenuhi siswa-siswi berwajah lelah. Mereka saling bercakap-cakap sepanjang perjalanan menuju parkiran, berkeluh kesah tentang sekolah hari ini.

Di parkiran, klakson motor terdengar bersahut-sahutan karena ulah mereka yang tak sabar ingin segera keluar.

"Buruan, woi! Gue mau nonton pertandingan basket, nih." Seorang cowok dengan seragam yang tak lagi rapi meneriaki orang di depannya.

"Lama banget, sih," gerutu cewek di belakangnya.

"Ban motornya kotak kalik," sahut yang lain.

Seorang siswa bertubuh gempal yang diteriaki terlihat sedang kesusahan mengeluarkan motornya. Ia tak bisa membelokkan bagian depan motor hingga membuat antrean yang cukup panjang di belakangnya. Alih-alih membantu, justru mereka yang mengantre malah menonton seraya berteriak marah. Siswa itu terlihat takut. Ia membetulkan letak kacamata bundarnya seraya terus berusaha.

Seorang cowok berperawakan tinggi dengan rambut agak gondrong datang membantu. Ia memajukan beberapa motor yang membuat siswa berkacamata itu tak dapat belok.

"Sekarang lo bisa lewat," ujar cowok itu.

Siswa bertubuh gempal mengangguk pelan. "Ma-makasih, Kak," ucapnya gugup.

"Buruan, Gendut! Lama amat." Siswa berpenampilan tak rapi di belakangnya berteriak lagi. Ia kembali membunyikan klakson tak sabaran.

"Kalau ada adik kelas yang kesusahan sebaiknya dibantu, Bang. Jangan malah disoraki." Cowok berperawakan tinggi berucap. Ia masih berdiri di tempatnya.

"Nggak usah sok-sokan, Daf! Lo berani sama senior, ha?!" bentak siswa berpenampilan tak rapi itu.

Dafa, cowok yang baru saja membantu menyelesaikan masalah antrean di parkiran mendengus. Ia menatap seniornya sekilas. Dafa mengenal cowok itu. Kakak kelasnya yang merupakan 'mantan' anggota basket SMA Tunas Bangsa, yang pernah membuat masalah hingga mencoreng nama baik tim basket mereka. Dafa lantas melenggang pergi ke arah motornya. Bukannya ia takut. Baginya, menanggapi orang keras kepala tak ada gunanya.

Di pintu gerbang, Alicia dan Laras menunggu Dafa tak sabaran. Mereka sudah duduk rapi, berboncengan lengkap dengan helm. Sesekali keduanya mengibaskan tangan karena gerah.

"Dafa mana, sih? Kita udah siap, dia malah belum muncul," protes Laras. Ia bergumam sebal seraya membetulkan poninya. Lewat kaca spion, Laras melihat wajah Alicia yang juga terlihat sebal.

"Seharusnya dia udah keluar." Alicia menatap layar HP-nya, barangkali Dafa mengabari.

Sebuah klakson mengagetkan dua Alicia dan Laras. Keduanya menoleh, geram melihat orang yang ditunggu baru tiba.

"Berangkat sekarang?" tanya Dafa basa-basi.

"TAHUN DEPAN!" Alicia dan Laras kompak berteriak.

Dafa malah terkekeh. Tanpa sepatah kata ia meninggalkan Alicia dan Laras seraya melambaikan tangan ke arah mereka.

🌻🌻🌻

"Alicia? Lo Alicia, 'kan?" sapa seseorang.

Alicia, Dafa dan Laras kompak menghentikan langkah, menoleh ke sumber suara. Seorang cowok berambut ikal berdiri tak jauh dari mereka.

"Rendy?" Alicia tersenyum kikuk seraya berjalan mendekat.

"Hai, Al! Dan lo ... Dafa, 'kan? Kalian apa kabar?" tanya cowok berambut ikal itu. Ia mengenakan pakaian OSIS berlogo SMA Garuda.

Tak Harus SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang