25. Sisi Lain Kelvin

408 27 28
                                    

Suasana sebuah ruangan yang dipenuhi bau anyir obat-obatan terlihat cukup serius. Detik jam dinding terdengar jelas—karena tak ada percakapan di sana. Jarumnya menunjukkan pukul 17:25. Angin sepoi-sepoi masuk tanpa permisi melalui jendela besar di sudut ruangan. Semua mata tertuju pada sosok Elang.

"Lo sakit apa, Lang?" tanya Dion untuk kesekian kalinya.

"Gue enggak sakit." Jawaban yang keluar dari mulut Elang membuat seisi ruangan menggelengkan kepala. Jelas saja wajah Elang terlihat sangat pucat. Ia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus yang menghiasi punggung tangannya.

"Gue serius, Lang." Dion mendekati Elang sambil menghela napas sebal.

"Jangan serius-serius ah. Kalau baper gue enggak mau tanggung jawab," timpal Elang.

Di ruang inap VIP dengan dinding yang didominasi warna putih, tak ada topik yang dibicarakan selain penyakit Elang. Secara bergantian Dafa dan Dion bertanya tentang apa penyakitnya. Namun, sepertinya tak ada gunanya menanyakan hal itu kepada Elang. Cowok itu tak pernah memberikan jawaban yang tepat.

Bukan tanpa alasan Dafa dan Dion bersikeras ingin mengetahui apa yang terjadi pada kesehatan Elang. Pasalnya, hampir setiap upacara bendera cowok keras kepala itu dibawa ke UKS. Bahkan ini yang terparah hingga ia dilarikan ke rumah sakit.

"Sebenarnya lo sakit apa sih, Lang?" Kali ini Dafa yang—mencoba kembali—bertanya.

"Gue sehat kok. Gue cuma kecapekan aja," jawab Elang cepat. Dafa geleng-geleng kepala melihat Elang yang berlagak sok sehat.

"Enggak ada gunanya guys tanya begituan ke Elang," celetuk Laras sambil menatap Elang malas.

"Nah, itu tahu." Perkataan Elang dengan wajah tengilnya membuat Laras berdecak sebal. Setelah itu hening. Bahkan Dion pun telah bosan bertanya kepada Elang.

"Kamu udah minum obat, Lang?" tanya Alicia memecah keheningan. Cewek dengan kunciran merah muda itu akhirnya bersuara. Sejak ia berdiri di ruang inap Elang, ia memang hanya diam. Sebenarnya Alicia merasa sedikit ragu menanyakan hal itu hingga ia memelintir rok seragamnya.

"Udah dong," balas Elang seceria mungkin.

Elang tersenyum sangat manis ke arah Alicia meskipun bibirnya terlihat pucat pasi. "Selamat atas kejuaraan yang lo raih, Al," ucapnya.

"Makasih ya, Lang."

"Jangankan jadi juara olimpiade, jadi juara di hati gue aja lo bisa." Perkataan Elang barusan tak mendapat balasan dari Alicia. Gadis cantik di samping kanannya malah terlihat kebingungan.

Dion dan Laras yang melihat itu hanya menahan tawa dengan tatapan mengejek. Mulut mereka mengucap kata 'mampus' tanpa suara.

"Maksudnya?" tanya Alicia kemudian.

"Eh, enggak. Lo emang pintar. Jadi, ya, wajar kalau lo jadi juara," kata Elang sambil tersenyum hambar. Gue heran deh, dia itu polos atau lemot sih? Gue kira dia bakalan nge-fly kayak kebanyakan cewek yang digombalin cogan, batinnya.

"Salah sasaran, Bro!" bisik Dion di telinga Elang. Kemudian cowok itu tertawa terbahak-bahak seraya memegangi perutnya.

Dafa berjalan ke arah jendela yang menghadap barat. Gordennya yang terbuka membuat langit jingga nan indah terlihat jelas. Ruang rawat inap yang ditempati Elang berada di lantai empat. Jadi, tak heran jika pemandangan perkotaan dari sana terlihat indah. "Bentar lagi sunset nih," gumam Dafa.

Alicia, Dafa, Dion dan Laras memang sengaja menjenguk Elang sepulang sekolah. Harusnya mereka sudah berada di sini pukul 16:00, tetapi mereka harus menunggu Laras selesai ekstrakurikuler selama kurang lebih satu jam karena gadis itu memaksa untuk ikut. Padatnya jalanan Kota Jakarta yang membuat mereka terjebak macet mengakibatkan mereka sampai di rumah sakit terlalu sore.

Tak Harus SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang