Kisah ini begitu sederhana.
Bermula saat aku yang awalnya hanya diperintahkan oleh guru Sastra-ku untuk mengumpulkan lembar ulangan harian di kelas satu. Aku sedikit terlambat waktu itu. Di mana semua murid telah selesai dan berhamburan keluar kelas menuju kafetaria, namun aku masih memutar otakku. Menggoreskan tinta pulpen untuk mengisi jawaban yang entah salah atau benarnya.
Tapi, guru itu akan pindah kelas. Mau tidak mau, dengan malasnya aku menyusul guru itu di lantai paling atas.
Dengan langkah tergesa-gesa, aku berlari secepat kilat, mungkin. Melewati lorong sekolah ruang demi ruangan. Tidak lagi terpikirkan apa-apa, karena memang otakku hanya penuh dengan rasa kegelisahan. Keringat mengucur di seluruh tubuhku. Kupercepat lagi langkah, entah ini sudah terlambat atau belum. Yang penting, aku telah menunjukkan pada guru itu. Beginilah usaha kerja kerasku demi mendapat nilai setidaknya B.
🦋🦋
Namaku Yoon Sonhwa.
Hanya gadis biasa. Seorang siswi yang sering kali dihukum membersihkan lapangan dan toilet sekolah karena keteledoran yang tak penting. Malas belajar, jarang mengerjakan tugas, ulangan juga sering kali terlambat mengumpulkan dan hasilnya tidak pernah memuaskan.
Itulah mengapa alasanku menjadi seorang siswi yang telah di cap buruk dan menjadi buronan para guru di sekolah ini. Tapi, maaf saja. Aku tidak pernah berbuat kenakalan seperti yang sering dilakukan sekelompok geng siswi berandal di kelasku yang selalu saja memecahkan rekor namanya tertulis di buku jurnal sekumpulan kasus-kasus.
Lagi pula, aku tidak ingin membuat ibuku menyesal telah membiayaiku masuk sekolah ini. Aku terlalu malas untuk melakukan sesuatu kasus sekolah. Anti sekali berurusan dengan guru konseling di sini.
🦋🦋
Tok, tok, tok...
Aku segera masuk setelah mendengar panggilan guru itu yang tengah bermain dengan pulpen dan beberapa kertas ujian. Menilai ulangan kami, mungkin? Ah, sudahlah. Aku tidak peduli! Sekarang, masalahnya apa aku masih bisa diberikan kesempatan untuk mengumpulkan kertas ujianku?
Yoongi seonsaengnim menatap tajam ke arahku. Gila, seram sekali tatapannya itu! Memang tidak salah lagi guru ini dicap guru killer oleh semua murid di sekolah ini. Aku menanggapinya dengan kekehan kecil.
"Jangan senyum-senyum, kamu!"
Jujur saja, wajahku langsung berubah dengan cepatnya. Takut usahaku gagal lagi seperti di ujian-ujian sebelumnya. Lebih parahnya, selalu saja pelajaran guru killer ini lagi. Apa memang aku bodoh dalam sastra Korea, ya?
Padahal, ini bahasa negaraku sendiri. Bagaimana bisa nilaiku hancur dalam bahasa keseharianku? Selama ini kau menggunakan bahasa apa dalam berkomunikasi dengan orang-orang, Sonhwa? Bahasa tubuh? Atau bahasa Alien?
Aku meneguk ludah kasar dan menatap ujung sepatuku. Menyebalkan sekali jika terus menatap guru itu. Mata sipitnya seolah selalu mengintimidasiku. Kembali mendongakkan kepala dengan terpaksa, kutatap wajahnya ketika dia berdeham pelan.
"Baiklah, lembar ujianmu saya terima. Tapi, dengan hukuman."
Tidak lagi kaget. Aku sudah mengerti sekali diriku ini dan bagaimana cara guru killer ini dengan cerdiknya memberikanku hukuman seperti biasanya.
Dia menaikkan kacamatanya dengan jari telunjuk. Sok tampan sekali! Memang sih, Yoongi seonsaengnim itu termasuk guru termuda di sekolah kami. Wajar saja gayanya masih seperti anak muda.
"Tahu ‘kan, apa hukumannya?"
Aku mengangguk pelan. Namun, masih tak ingin bersuara. Terlalu menakutkan untuk protes. Lagi pula, aku sudah biasa. Kuat menjalaninya semua. Mau tidak mau, aku segera berbalik badan dan hendak meninggalkan kelas itu, saat Yoongi seonsaengnim menyuruhku segera menjalani hukumannya.
Tapi, tiba-tiba guru killer itu berteriak memanggil namaku lagi. Menyuruh menghentikan langkahku yang akan pergi meninggalkan kelas. Memang sih, aku juga baru saja melihat seorang laki-laki yang baru masuk kelas ini. Akhirnya, dengan malasnya aku berbalik badan dan menghampirinya lagi.
"Ada apa, ssaem?" tanyaku.
Dia tidak menjawab pertanyaanku, hanya menatap tajam anak laki-laki yang ada di depannya. Oh, aku tahu pasti lelaki ini juga punya masalah dengan Yoongi seonsaengnim. Namun, aku tak ingin ambil pusing. Hanya menatap siswa itu yang wajahnya mendadak pucat dan ketakutan. Jujur, melihatnya aku jadi tidak tega.
"Kau dari kelas satu, kan?" Yoongi seonsaengnim mulai membuka suara, bertanya pada siswa itu.
Dia gugup menjawab, "I-iya, ssaem."
"Berkelahi dengan teman-temanmu lagi?"
Laki-laki itu tidak menjawab. Hanya terdiam dan kemudian kembali menunduk.
"Angkat kepalamu! Gurumu ada di bawah, ya?"
Dia akhirnya menatap Yoongi seonsaengnim dengan gugup. Bisa ketebak, pasti laki-laki ini habis berkelahi. Hanya seorang siswa berandal yang hobi mencari keributan.
Namun, jika berhadapan dengan Yoongi ssaem malah takut. Dasar, pria pengecut! Wajarkah pria seperti itu jadi murid berandal? Aku hanya memaki laki-laki itu dalam hati.
"T-tapi, ssaem ... Mereka duluan. Aku awalnya tidak ingin membalas. Tapi, mereka—"
Yoongi ssaem menyela, "Ah, sudah! Kau itu banyak sekali alasan. Jadi, kalian berdua dihukum membersihkan lapangan sekolah. Sekarang!"
Apa? Dengan adik kelas ini? Astaga, lebih baik aku membersihkan satu sekolah sendirian daripada dihukum bersama lelaki ini.
Ya, Tuhan. Cobaan apa lagi yang kau ingin berikan padaku? Aku hanya bisa memelas, mengasihani diri sendiri.
"Kenapa belum keluar? Cepat keluar! Satu, dua—"
Aku dan lelaki itu buru-buru keluar kelas dan mengerjakan hukuman apa yang diperintahkankan Yoongi seaem. Iya, berdua dengan laki-laki ini. Mau tidak mau, dengan malasnya aku harus menerima nasib. Memang menyedihkan sekali hidupku ini. Kemudian, aku dan dia mengambil peralatan kebersihan di gudang sekolah. Dengan segera, kami turun ke lapangan dan membersihkan semuanya.
Aku dan dia tentu menjadi bahan perhatian murid-murid lain. Bagaimana tidak? Di jam istirahat begini, semua murid melewati lapangan sekolah dan di sana ada kami yang tengah dihukum berdua.
Jujur, aku malu sekali. Tapi, tidak dengan laki-laki ini. Dia tetap terlihat santai saat melanjutkan hukuman tanpa menghiraukan ejekan teman-temannya. Aku berpikir, apa dia menjadi bahan bullyan di kelasnya?
Kulihat, dia sama sekali tidak melawan ejekan teman-temannya. Diam saja, sampai-sampai teman-temannya itu bosan mengejek dan akhirnya lebih memilih meninggalkan kami.
Jadi, apa mungkin laki-laki ini berandal sekolah? Aku jadi penasaran.
.
[ ]
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lil Boy [TAMAT]
Fanfiction"Terkadang, cinta datang seperti halnya menunggu sebuah bus. Meskipun kita telah menemukan seseorang yang tepat, bukan berarti mendapat perjalanan yang mulus." ©My Lil Boy