Aisyah meletakkan mangkuk soto miliknya yang mengepul diatas meja. Gadis itu celingak-celinguk mencari keberadaan Laila diantara santri putri yang tengah bejubel antri makan malam di kantin pesantren.
''Aisyah! Mencari siapa? Ayo dimakan, nanti keburu dingin.''Tegur santri putri lain nimbrung duduk di sebelah Aisyah.
Gadis itu menganggukkan kepala, lalu segera melahap sotonya sebelum jam makan malam selesai.
Selesai makan gadis itu segera menuju kamarnya untuk mengetahui keberadaan Laila. Benar firasatnya, bahwa sahabatnya berada di kamarnya.
''Laila!!!''Aisyah membulatkan mata berdiri di ambang pintu. ''Apa yang kau lakukan?''Aisyah segera menghampiri Laila yang tengah memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar.
Laila tak menggubris Aisyah yang berdiri di depannya. Gadis itu tetap mengemasi pakaiannya.
''Berhenti! Katakan apa yang terjadi?''
Laila menatap tajam gadis yang menahan lengannya.
''Aku capek. Jangan hentikan aku. Ini urusanku!''
Aisyah menelan ludahnya. ''Kau ini bicara apa? Aku tidak mengerti!''Aisyah menautkan kedua alisnya
''Ini!'' Laila melepas cadar yang menutupi wajahnya. ''Aku capek dituduh teroris hanya gara-gara selembar kain yang menutupi wajahku!''
Aisyah tertegun. Menelan ludahnya dengan susah.
''Kau lihat kan? Aku sudah melepasnya, sekarang apa kau masih menganggap aku teroris, sama seperti tuduhan mereka padaku.''
Aisyah menarik napas. ''Apa aku melakukan kesalahan?''
"Tidak! Kalian selalu dipihak benar dan aku salah! Kalian menghakimiku dengan mudahnya, padahal kalian selalu bilang bahwa kalian ini orang-orang yang beriman. Lalu apa kalian pikir tuduhan kalian padaku dan teman-temanku itu tidak menyakitkan?''Laila membelakangi Aisyah
"Laila, kami tidak pernah menghakimimu. Kau yang selalu menyendiri sejak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Lalu sekarang kau menyalahkan santri-santri yang ada disini? Kau menganggap bahwa santri-santri disini mengucilkanmu? Tidak! Kau salah besar! Kami tidak pernah...''
Sela Laila membalikkan badan ''Sikap kalian, tatapan benci kalian, cacian kalian dan semua yang tidak aku ketahui. Dan kau masih bilang jika mereka semua tetap menghargai keberadaanku?''
Aisyah menelan ludah. ''Apa aku melakukan itu padamu?'' Laila melengos, membuang muka lalu mengambil beberapa bajunya yang ada di dalam lemari kecilnya.
Aisyah menelan ludah, jongkok memungut cadar Laila yang ada di dekat kakinya.
''Pakailah. Kita tidak berteman karena ini, dan kita juga tidak akan terpecah karena kain ini.''Aisyah mengulurkan cadar Laila
"Cukup, Aisyah. Kau tidak perlu melakukannya. Tinggalkan aku, bergaulah dengan teman-temanmu!''
''Aku akan tetap disini, menahanmu untuk pergi. Jika kyai mengetahui ini beliau akan sangat terpukul. Kyai tidak pernah menyinggung keberadaanmu, Laila. Kyai menerima kedatanganmu dengan terbuka, kyai tidak pernah membatasi ruang gerakmu!''
''Tapi tidak dengan pengurus yang lainnya bukan?''
"Laila jangan membuat orang lain justru berpikir dua kali untuk menerima keberadaanmu hanya karena kau melakukan ini!''
Laila menarik napas panjang. ''Jangan menahanku. Ini urusanku! Percayalah, kau tidak akan rugi jika pun mereka tetap memandangku sebelah mata!''
''Laila!''
''Bawa saja cadarku, anggap saja sebagai kenang-kenangan karena kau telah berteman dengan orang berdosa sepertiku!''Laila mengangkat tas besarnya
Aisyah segera menutup pintu dan menghalangi Laila untuk keluar dari kamar. ''Tidak! Jangan lakukan itu!''
"Maaf, Aisyah. Terima kasih kau telah bersedia menjadi temanku. Mulai sekarang kau bisa bergabung dengan teman-temanmu yang lain tanpa takut terlibat dalam urusanku!''
Aisyah menelan ludahnya dengan susah. Menunduk. Lalu melangkahkan kaki selangkah menjauh dari pintu. Laila menjingjing lagi tasnya, lalu membuka pintu dan keluar dari kamar.
"Laila!''
Panggil Aisyah. Laila menahan langkahnya.
''Pakai cadarmu. Jika kau pergi Karena ini maka libatkan cadarmu kemana pun kau pergi. Katakan pada mereka bahwa kau bangga pada cadarmu, dan buktikan bahwa kau akan tetap mempertahankannya meskipun badai menghadangmu.''
Aisyah menyodorkan cadar Laila. Perlahan tangan Laila meraih cadar itu dari tangan Aisyah.
Laila mengangguk pelan.
''Aku pergi!''
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara
Short StoryMemaafkan merupakan kewajiban. Dan melupakan perkara perasaan yang tidak bisa dipaksakan.