Bagian enam belas

9 0 0
                                    

1 bulan kemudian. ‘’Laila. Mau aku bawakan bubur ayam?’’Tanya Aisyah  pada Laila yang duduk di kursi roda
‘’Aisyah. Sudahlah jangan memperlakukan aku seperti orang sakit!’’Ujar Laila masih berkutat dengan laptopnya
Aisyah menghampiri gadis itu. ‘’Yah! Sepertinya pembacaku sekarang telah mengkhianatiku. Mereka lebih memilih membaca tulisanmu!’’
Laila tersenyum mendapati celoteh sahabatnya itu. ‘’Mau bagaimana lagi. Kau saja suka telat nulisnya.’’goda Laila. Semenjak Laila pulang dari Rumah Sakit, ia harus rela duduk di kursi roda untuk memulihkan kondisinya. Dan untuk mengisi hari-harinya, Laila memilih untuk menulis dan bergabung menjadi anggota jurnalis pesantren.
Aisyah mengarahkan pandangan pada Abdi yang berdiri balik pohon. Gadis itu tau, jika Abdi ingin meminta maaf pada sahabatnya itu. Namun, semenjak 1 bulan yang lalu ia tak pernah menemui Laila. Diam-diam ia datang ke pesantren untuk melihat perkembangan Laila dari jauh.
‘’Laila. Aku tinggal sebentar ya.’’Ujar Aisyah berlalu dari hadapan Laila.
‘’Oh oke.’’Ujar Laila tanpa berpaling dari layar laptopnya. Aisyah melangkahkan kaki meninggalkan Laila di taman belakang pesantren dengan laptopnya. Gadis itu mengangguk pada Abdi yang menatapnya.
‘’Pergilah. Temui dia. Aku tidak ingin memiliki sahabat yang pengecut.’’Ujar Ilham dari balik punggung Abdi. Lelaki itu mengangguk. Lalu melangkahkan kaki menghampiri Laila. Namun, beberapa meter di belakang Laila, Abdi menahan langkahnya. Ia ingin mengurungkan niatnya untuk menemui Laila.
‘’Abdi!’’ panggil Laila tanpa membalikkan badan. Lelaki itu tertegun.
‘’Sehina itukah aku hingga kau tidak ingin menemuiku?’’Celetuk Laila.‘’Aku telah memaafkanmu!”Ujar Laila memecah keheningan
Abdi menelan ludah. ‘’Kenapa kau memaafkanku?’’
‘’Allah saja maha pemaaf. Kenapa kita sebagai hambanya tidak!’’
‘’Tapi, aku datang kemari tidak untuk meminta maaf.’’ujar Abdi  ‘’Karena aku tau kau akan memaafkanku sebelum aku meminta maaf!’’Imbuh Abdi. Laila tersenyum mendengar kata-kata Abdi.
‘’Lalu?’’
Hening. Lelaki itu berjongkok di balik Laila. 
‘’Laila. Menikahlah denganku!’’
Hening. Laila tak mampu menahan air matanya yang begitu saja menetes di pipinya. ‘’Apa kau kira dengan menikahiku akan menghilangkan rasa bersalahmu.’’Gadis itu terisak. ‘’Aku telah memaafkanmu. Kau tidak perlu khawatir, Kau telah lepas dari kewajibanmu. Kau tidak perlu menikahiku hanya untuk menebus rasa bersalahmu!’’
‘’Aku tidak berpikir serendah itu. Kau bisa hidup tanpa aku, tapi tidak dengan aku.’’Ujar Abdi. Laila masih terisak, gadis itu tak mampu berkata-kata.
‘’Laila. Izinkan aku menjadi kakimu yang akan mengantarkan kemanapun kau melangkah. Menemanimu kemanapun kau pergi, menjadikanmu ibu dari anak-anakku, menjadi wanita yang pertama kali aku lihat saat aku bangun dari mimpi-mimpi panjangku, dan kupandangi sebelum aku menutup mataku. Laila aku sedang memohon kepadamu,  menualah bersamaku!’’lelaki itu terisak, tak mampu menahan air matanya.
Laila memutar kursi rodanya untuk membalikkan badan. Menatap lelaki yang menundukkan kepalanya beberapa meter di depannya.
‘’Abdi berdirilah. Jangan lakukan itu. Kau tidak perlu melakukan itu!”
Abdi masih terisak, lelaki itu hanya menundukkan kepalanya.
‘’Aku ini wanita kotor, aku tidak pantas hidup bersamamu. Menikahlah dengan orang yang kau cintai, bukan orang yang kau kasihani.’’
Abdi mengangkat kepalanya. ‘’Aku tidak peduli. Apalagi yang harus aku pikirkan jika allah telah menjawab doaku melalui wajahmu yang dihadirkan dalam mimpiku?’’Laila menelan ludahnya. Ia hanya mampu meneteskan air mata.
Laila menelan ludahnya. Masih jelas di ingatannya, bahwa ia selalu memimpikan Abdi akhir-akhir ini. Ia meneteskan air mata, apa itu artinya abdi?
Hening.
‘’Aku akan menikah denganmu!’’Suara laila menggetarkan hati Abdi.
‘’Apa kau benar-benar mengatakan iya?’’ Laila mengangguk dengan cepat. Lelaki itu tak mampu menutupi kebahagiaannya. Lelaki itu berdiri dan menghapus air matanya.
‘’Terimakasih Laila."

Muara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang