Bagian sepuluh

9 0 0
                                    

Aisyah masih berkutat dengan laptopnya. Gadis itu duduk di teras yang ada di lantai 2. Di bawah bulan yang tengah bercengkrama dengan ribuan bintang yang ada disekelilingnya. Aisyah mengangkat kepalanya, memandangi bulan yang tengah memancarkan sinarnya. Berpangku tangan membayangkan jika bulan tengah merengkuhnya, hingga ia tak akan ketakutan jika kegelapan akan menyerangnya.
‘’Aisyah!’’Panggil Laila menghampiri Aisyah.
Aisyah menoleh pada gadis yang muncul dari belakangnya.
‘’Laila! Sejak kapan kau berdiri sana?’’
‘’Bulannya bagus ya!’’Ujar Laila berdiri di samping Aisyah, mengarahkan pandangan pada bulan yang tengah tersenyum padanya.
Aisyah mengangkat lagi kepalanya. Gadis itu mengangguk pelan.
‘’Aisyah! Ada yang ingin kau bicarakan padaku?’’Tanya Laila tanpa menoleh pada Aisyah.
Aisyah mengangkat satu alisnya. ‘’Laila. Pertanyaan apa ini?’’
‘’Aku bertanya padamu.’’Ujar Laila mengarahkan pandangan pada Aisyah. ‘’Apa kau tidak ingin menanyakan sesuatu padaku?’’
Aisyah menelan ludahnya dengan susah. ‘’Tidak! Aku tidak ingin menanyakan apapun padamu!’’
Laila menghela napas. ‘’Baiklah! Kalo begitu biar aku yang cerita!’’
Laila menatap lagi ke bulan. Hening.
‘’Aku ini bukan orang baik-baik!’’Ucap Laila memecah keheningan. Aisyah tertegun. Laila tersenyum tanpa menoleh pada Aisyah yang tak mengerti maksud kata-katanya.
‘’Jangan terlalu percaya dengan orang yang baru saja kau kenal. Kau menilai dia baik, hanya karena kau belum melihat sisi lainnya!’’Lanjut Laila. Gadis itu menghela napas. Lalu melanjutkan lagi ceritanya.
‘’Namaku Anastasya. Kau tau. Aku dulu kupu-kupu malam. Aku tinggal dengan omku yang dengan teganya menjualku pada lelaki hidung belang. Hidupku hancur, aku tidak memiliki harapan. Hidupku hanya untuk orang lain, tidak untuk hidupku sendiri.’’Terang gadis itu tanpa menoleh pada Aisyah
‘’Suatu ketika diskotik tempat orang-orang dapat menemukanku di gerebek polisi. Di situlah kesempatanku dapat kabur dari tempat kotor itu, saat polisi menangkap para mucikari, aku kabur lewat pintu belakang, seorang polisi mengejarku. Aku lolos karena bersembunyi di bawah jembatan.’’
‘’Setelah aku rasa aku telah aman, aku keluar dari persembunyianku. Aku mencoba bunuh diri dengan meminum racun serangga, tetapi tanpa kusadari sebuah tangan mungil menahan tanganku. Aku menoleh pada bocah kecil yang menghampiriku di bawah jembatan dengan senyum polosnya. Bocah itu memberiku botol aqua untuk aku minum. Aku tertegun, lalu menangis sejadi-jadinya. Bocah itu memelukku. ‘’
Laila menahan ceritanya. Dadanya begitu sesak. Gadis itu tak dapat menahan air matanya. ‘’Seorang ibu menghampiri kami. Ibu itu tersenyum padaku. Lalu…’’

Muara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang