5. Arti sebuah mimpi

60.6K 4.2K 145
                                    

Angkasa melepas jaket yang berada di tubuhnya. Dia melihat sekitar rumah, tak ada tanda-tanda kehadiran orang lain selain dirinya. Angkasa meneguk segelas air putih yang baru di ambil olehnya di dapur. Rumahnya begitu sepi, mungkin para pembantu di rumah ini sudah tertidur. 

“Baru pulang?” suara Bariton itu membuat Angkasa menoleh ke arah tangga. Dia tersenyum, menunjukan deretan gigi putih nya yang rapih. “Kenapa muka nya terluka? Tauran lagi?” 

Langkah kecil kaki itu mendekat ke arah Angkasa, dan memberikan kotak P3K kepadanya. Raka menyiapkan nya makanan lalu menyodorkan nya kepada Angkasa. “Abang bisa ambil sendiri makanan nya,” kata Angkasa kepada Raka-adiknya. 

“Kalau abang yang ambil, makan nya pasti sedikit. Abang kan belum makan,” kata Raka. “Rapot aku belum di ambil. Kapan abang mau ambil rapot aku?” tanya anak itu. 

“Nanti abang ke sekolah Raka,” balas Angkasa. “Kenapa kamu belum tidur? Ini sudah jam satu malam, kamu harus tidur. Besok kamu sekolah.” Katanya lagi. 

“Abang besok juga sekolah. Kenapa abang belum tiddur?” Raka melirik nya. Dia melipat kaki nya di atas kursi sembari menatap Angkasa yang tengah makan. “Tadi aku mimpi Mama, terus kebangun. Aku kira abang udah pulang,tapi belum. Yaudah aku nunggu di Balkon, aku lihat abang dorong motor.” 

Angkasa mengangguk mendengarnya. Adiknya sudah terbiasa seperti ini,terbangun di tengah malam, dan memilih untuk duduk di Balkon. Karena mereka sudah terbiasa tanpa orang tua di sisinya, tidak akan ada yang khawatir bila mereka belum tidur. Bagi Raka, Angkasa kurang peka. Bagi Angkasa, Raka sudah besar. 

“Papa dan Mama belum nelpon ke sini? Mereka masih sibuk kerja ya bang?” tanya Raka. Angkasa hanya melirik adiknya saja. Tidak berniat membalas ucapan itu.

Angkasa juga sudah tidak peduli. Bagaimana nasib orang tua nya. Mereka saja tidak memikirkan Angkasa dan Raka, lalu untuk apa Angkasa memikirkan mereka. 

“Abang kalau pulang, malem terus. Aku di rumah sendirian. Bibik ngga asik untuk di ajak main. Bang Hafiz sama Bang Robi, mereka juga sudah jarang ke sini. Abang juga kerjaan nya nongkrong terus.” Raka menunduk memainkan jemari nya. “Aku mau main sama abang. Abang kapan bisa main sama aku?” 

Angkasa tersedak mendengar keluhan adiknya. Ini sudah kesekian kalinya Raka meminta Angkasa untuk mengajak nya bermain. Tetapi Angkasa hanya sibuk kepada sahabatnya saja. 

“Aku sedang bicara, Bang.” Balas Raka. 

“Nanti abang ajak Raka main, kalau abang punya waktu. Kita nanti jalan-jalan berdua, naik mobil. Abang ajak Raka kemana pun Raka mau,” balas Angkasa. 

“Abang sibuk apa? Sibuk ngurusin anak Geng motor abang? Sibuk buat masalah di sekolah abang? Sibuk ngurusin suatu hal yang ngga penting? Abang dulu juga seperti itu, bilang ke Raka, untuk ajak jalan-jalan. Tapi abang ngga pernah tepatin ucapan abang sampai sekarang,” Raka menggigit bibirnya. Berharap setelah ini Angkasa tidak marah. Walaupun tidak pernah sampai memukul, tetapi Raka sangat takut melihat wajah marah Angkasa. Laki-laki itu kalau marah, memang sangat seram. Raka lebih baik menjauh dari Angkasa, kalau laki-laki itu sedang marah. 

Angkasa mengeraskan rahang lehernya. “Raka ngga minta banyak kok. Raka cuma mau main sama abang, main sebentar aja. Raka ngga akan buang waktu abang. Raka ngga akan buat abang kecapekan. Raka cuma minta itu,” Raka menatap Angkasa berbinar. 

“Raka iri sama temen-tmen Raka. Bisa di anter orang tua nya ke sekolah. Raka juga iri kalu ngeliat mereka di ambilin rapotnya. Bu guru selalu marah sama Raka, karena Raka telat ambil rapot. Raka Cuma diem di pojok kelas, kalau nama Raka di panggil, Raka langsung ngumpet di bawah kolong meja supaya ngga ketahuan. Masa Mama dan Papa pergi ninggalin Raka, abang juga ninggalin Raka.” Anak itu menangis sesegukan menatap Angkasa. “Raka mau abang nemenin Raka, anter Raka sekolah, jemput Raka, main sama Raka. Udah kok itu doang. Masa abang lebih pentingin anak Geng motor, dari pada adik abang sendiri.” 

Raka langsung berlalri meninggalkan Angkasa. Dia tau Angkasa akan marah jika Raka menyangkut pautkan kepada anak motor nya. 

Angkasa menghela nafas pelan. Dia bangkit, lalu menaiki tangga rumahnya. Angkasa menarik knop pintu, hingga terbuka. Melihat Raka tengah meringkuk di atas kasur. 

“Raka.” Angkasa duduk di tepi kasur. “Iya, di sini abang yang salah. Abang minta maaf ya?” kata Angkasa mengusap kepalanya. 

“Hiks! Gak usah minta maaf kalau abang masih melakukan hal yang sama!!” Raka berlindung di balik selimut takut Angkasa marah. 

Alih-alih marah, Angkasa malah mengusap kepala Raka dan memeluk nya sambil tertidur. “Abang minta maaf. Nanti abang ajak Raka jalan-jalan, antar Raka sekolah, jemput Raka sekolah, ambilin Rapot Raka. Abang ngga akan ngelakuin hal yang sama lagi. Raka jangan marah sama abang ya, abang akan sempetin waktu untuk Raka.” Kata Angkasa. 

*** 

Angkasa terbangun di tempat bernuansa putih, dengan  bau semerbak bunga di sekitarnya. Mata Angkasa mengerjap berulang kali, hingga retina itu sudah menangkap jelas pandangan nya. 

“Mama?” Angkasa melihat wanita berbaju putih. “Mama di sini? Mama pulang buat temani Angkasa dan Raka? Mama ngga akan jauh dari kita lagi kan?” 

Angkasa memeluk tubuh Mama nya dalam dekapan. Wanita itu tersenyum membiarkan kerinduan putranya terbalaskan. “Hiks! Angkasa kangen banget sama Mama. Kenapa Mama ngga pulang? Kenapa Mama dan Papa terus meninggalkan kita?”

“Suatu saat kamu akan mengerti, kenapa Mama dan Papa harus meninggalkan kalian. Suatu saat semua nya berubah, kesedihan akan tergantikan oleh kebahagiaan. Mungkin sekarang kamu ngga ngerti, tetapi nanti kamu akan mengerti maksud Mama dan Papa, Nak,” katanya mengusap punggung itu. 

“Kenapa harus nanti? Kenapa tidak sekarang Ma?! Sedari dulu Mama selalu meninggalkan Angkasa, dan Raka. Tidak ada orang tua yang meninggalkan anak nya Ma. Kenapa Mama dan Papa melakukan ini?” Angkasa menagis sesegukan dalam pelukan itu. 

“Jaga apapun yang menjadi milik kamu. Jangan biarkan itu terbagi kepada siapapun. Jadi laki-laki yang baik. Jangan Cuma bisa nya bertarung saja, kamu sudah besar, sudah dewasa. Coba suatu hal yang besar, jangan takut gagal. Mama akan selalu ada di hati kamu, melihat anak mama dewasa, Angkasa.” Katanya sembari mengusap kepala itu. 

Angkasa melepas pelukan itu. Dia terkejut ketika mendapati wajah Mama nya dalam keadaan pucat. 

“Wajah Mama?! Wajah Mama mirip kenapa pucat?! Kenapa mirip dengan...” Angkasa membuyarkan lamunan nya. 

Mama nya terkekeh kecil. “Siapa? Mirip dengan siapa nak? Kamu mau bilang Mama mirip siapa? Hm?” Angkasa menggeleng cepat. “Kalau memang nanti ada yang mengubah hidup kamu, dan Raka. Simpan dia baik-baik. Jika kamu membuat nya hilang apalagi sampai pergi, maka kamu akan kehilangan berlian yang seharusnya menjadi hidup kamu,” kata Mama nya. “Siapapun orang itu. Jaga dia, jangan rusak dia. Berlian harus tetap mahal seutuhnya.” 

“Angkasa ngga ngerti maksud Mama,” kata Angkasa. 

“Mama pamit nak. Jadi dewasa, Angkasa. Jadilah seperti Papa mu, yang selalu menjaga kehidupan nya. Maafkan Mama kalau ada salah, maafkan Mama karena jauh dari kedua putra Mama. Mama menyayangi kamu Angkasa.” 

Tubuhnya lenyap begitu saja dari pandangan mata Angkasa. “MAMA!!” teriaknya. 

“ABANG BANGUN!!” Raka menampar pipi Angkasa hingga sang empu langsung terlonjak bangun. “Abang gak papa?!” ujar Raka cemas. 

Angkasa menetralkan detak jantung nya yang kencang. Keringat di dahi nya bercucuran sangat deras, alur nafas nya pun sudah beradu cepat.

Raka menyodorkan minuman kepada Angkasa. Dia mengusap keringat itu, yang membasahi leher abangnya. “Abang mimpi Mama? Semalam Raka juga gitu, Mama bilang, Mama minta maaf, Mama sayang sama Raka dan abang. Mama ninggalin kita karena ada alasan nya. Abang mimpi itu juga?” tanya Raka dengan polosnya. 

“JANGAN BICARAKAN MEREKA!!” bentak Angkasa membuat Raka terkejut dan menjauhi Angkasaa. 

***

TBC.

ANGKASA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang