20. Menjaganya

36.7K 2.3K 9
                                    

Angkasa mengerjapkan matanya beberapa kali, membiarkan retina menangkap cahaya. Perut nya terasa sangat nyeri, bersamaan dengan tangan kiri Angkasa terasa hangat. 


Dia menoleh ke sisinya, tangan Raisa tengah menggenggam lembut tangan nya yang terdapat infus. Dia tersenyum lebar, perlahan melepas genggaman itu, lalu mengusap rambut Raisa. 

Merasakan pergerakan dari tubuh Angkasa, perlahan Raisa meringis bangun, dia mengucak matanya yang terasa samar. “Angkasa, kamu sudah sadar?” tanya Raisa cemas. “Aku panggilin Dokter dulu, ya.” 

Sesaat sebelum Raisa pergi meninggalkan Angkasa. Laki-laki itu terburu mencium tangan Raisa. “Makasih,” katanya. 

“Untuk apa?” tanya Raisa 

“Makasih udah ada disamping aku, makasih udah mau temenin aku, makasih udah mau disisi aku, makasih untuk semuanya. Aku bersyukur banget bisa kenal sama kamu,” kata Angkasa dengan iris mata menatap langsung Raisa. 

Dia terenyuh pelan, “Harusnya aku yang bilang makasih sama kamu, makasih udah mau hadir di hidup aku, menemani aku, dan menemani akhir hidup aku.” 

“Maksud kamu?” tanya Angkasa mengeryit. 

“Kau sudah sadar, Angkasa?” seorang Dokter beserta perawatnya memasuki kamar inap yang ditempati Angkasa. “Apa ada yang terasa sakit?” 

“Sedikit,” kata Angkasa. 

“Dokter kenal dengan Angkasa?” tanya Raisa. 

“Oh dia, anak ini sering banget masuk rumah sakit. Sering terluka di bagian yang sama, tertusuk, ataupun datang dengan keadaan tidak sadarkan diri,” kata Dokter Brevan, “Saya harap kamu tidak kemari, dalam keadaan seperti ini, walaupun saya Dokter, tetapi kalau kamu sering mencelakakan diri kamu sendiri, akan ada saatnya saya mengucapkan ‘kami sudah berusaha sebaik mungkin’ benar kan?” Dokter itu terkekeh di akhir ucapan nya. 

Angkasa hanya bergumam mendengar itu. Brevan menghampiri, membantu Angkasa bersandar dengan bantal. “Kali ini luka tusuknya cukup dalam, kamu harus beristirahat sebaik mungkin, sebelum kondisi kamu pulih. Jangan melakukan pekerjaan yang berat, terutama membahayakan kondisi kamu, karena itu membuat luka kamu kembali terbuka,” kata Brevan. “Papa mu barusan pergi ke London, harus ada pekerjaan yang dilakukan, saya harap kamu bisa menjaga dirimu sendiri dengan baik.” 

“Emang biasanya kayak gimana?” sindir Angkasa. 

“Saya hanya mengingatkan pasien saya. Jika kamu tidak menurut, maka resiko nya kamu yang tanggung sendiri,” balas Brevan. “Ini obat yang barusan saya tebus di apotik. Saya sudah bilang pembantu di rumah kamu, untuk masak makanan yang bergizi selama pemulihan kamu. Dan saya harap kamu tidak, MEMBANTAH UCAPAN SAYA,” Brevan menekan kalimat terakhirnya. 

Raisa mengambil obat itu dari tangan Brevan. “Di dalamnya ada salep, untuk menghilangkan bekas luka tusukan tersebut. Hati-hati jika ingin mengoleskan nya.” 

“Baik Dok, terima kasih.” Balas Raisa. 

Brevan menepuk pundak Angkasa, lalu meninggalkan kamar inap itu. Perawat nya juga memberikan sarapan untuk Angkasa kepada Raisa. 

“Makan dulu,” kata Raisa menunjukan mangkuk berisi bubur tersebut. 

“Kamu tau dari mana aku masuk rumah sakit? Dan kenapa hanya ada kamu?” tanya Angkasa. 

ANGKASA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang