Hari sudah sore , namun Adelia maupun Devanno masih belum bisa menemui anak laki-lakinya, Aidan. Mereka berdua masih setia menunggu Aidan untuk dibawa ke kamar. Sedari tadi, Adelia terus saja menanyakan kenapa ia masih belum bisa memberikan ASInya untuk anak laki-lakinya itu.
Untung saja orang tua Adelia bersedia untuk di titipkan El untuk sementara waktu selagi Adelia masih di rumah sakit. Kalau tidak, mungkin Devanno kerepotan harus mondar-mandir mengurusnya. Orang tua Devanno sedang pergi membeli makanan diluar rumah sakit. Mereka datang untung menemani Adelia disaat Devanno tak ada.
"Mas, aku mau ketemu Aidan," keluh Adelia.
"Iya sayang. Nanti kita ketemu ya. Sekarang kamu istirahat aja dulu." pinta Devanno.
"Ini semua salah aku mas!"
Devanno kembali menoleh. "Maksudnya?"
"Kalo aja aku bisa jaga anak kita pas di dalam kandungan, ini ngga akan terjadi."
Wajah Devanno tampak menegang. Ia benci jika Adelia selalu menyalahkan dirinya seperti ini disaat ada masalah. Namun sesaat, wajahnya kembali tersenyum.
"Udah ngomongnya? Kalo udah, sekarang tidur ya. Kamu harus istirahat biar bisa kasih ASI anak kita." kata Devanno. "Aku keluar dulu sebentar ya. Mau beli kopi." sambungnya yang langsung keluar dari kamar itu.
Devanno tak benar-benar meninggalkan Adelia sendirian. Ia hanya berdiam diri di depan pintu kamar, menjambak rambutnya sendiri karena kesal.
Langkah suster yang ingin memanggil Devanno membuat pria itu menoleh.
"Bapak Devanno?"
"Ya saya. Ada apa sus?"
"Anak bapak kritis di ruang ICU, dokter memanggil anda kesana."
Tak memberi respon atas perkataan suster barusan, Devanno langsung saja berlari menuju ruang ICU. Ia bisa melihat dokter yang sedang menangani anaknya dari kaca. Ditubuh anaknya, sudah dipasang beberapa alat bantu agar membantu bayi itu untuk bernafas.
"Bertahan nak!" ucap Devanno lemas.
Devanno menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu dengan tergesa.
"Ada apa dok? Apa yang terjadi?" tanyanya langsung.
"Kondisi anak bapak sangat kritis. Paru-parunya tersumbat hingga ia tak bisa bernafas normal. Kami sudah memasang ventilator, tapi itu hanya sedikit membantu."
"Lalu bagaimana dok? Apa tidak ada cara lain untuk menolongnya?"
"Karena anak bapak baru saja lahir, sulit untuk melakukan operasi. Resikonya sangat tinggi."
Devanno memijit keningnya. Kepalanya seakan ingin meledak. Kepalanya penuh akan hal-hal buruk yang seharusnya tak ia pikirkan.
Dokter terkejut karena tiba-tiba saja alarm dari kamar Aidan berbunyi. Dengan segera dokter itu kembali masuk, disusul oleh suster. Devanno ingin masuk jika saja tidak di cegah oleh suster.
Devanno kelimpungan. Ia tak tenang menunggu kabar anaknya. Sesekali ia mengigit jarinya karena gundah. Ia melihat kalau dokter tengah berjuang sekuat tenaga. Meskipun Devanno tak belajar ilmu kedokteran, ia tau betul kalau saat ini alat pendeteksi jantung tak bisa mendeteksi jalan nafas anaknya.
"Aidan, ayo sayang. Bertahan nak! Ayah disini temenin kamu." gumam Devanno dengan nada bersedih.
Kakinya terasa sangat lemas saat melihat dokter menggelengkan kepalanya saat menatap layar yang hanya menunjukkan garis lurus panjang. Ia yakin kalau sebentar lagi, ia akan menerima kabar buruk dari dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecture My Husband-Part 2
FanfictionJika kalian menganggap kalau rumah tangga Devanno dan Adelia berjalan mulus, kalian salah besar..