16

2K 207 15
                                    

"Maaf, jika akhirnya aku menyakitimu, menyusahkan bahkan membuatmu kecewa. Ini yang aku takuti. Kamu mencintaiku, aku mencintaimu. Namun, semesta tak berpihak pada kita."
-(Namakamu) Putri Raynzaldi-
***
Hai! Makasih atas 17K reads-nya!
Jangan lupa putar mulmed buat scene Yuda nangis ya!
Last Child - Bernapas Tanpamu!
Happy Reading!
***

Sejam setelah pemeriksaan dokter, Iqbaal terus berada di samping (Namakamu). Padahal dokter berkata bahwa (Namakamu) hanya luka ringan, untung segera dibawa ke rumah sakit. Kalau tidak, mungkin nyawa gadis itulah taruhannya.

"Sayang, hei. Bangun dong, aku mau marah sama kamu. Kamu tadi pamitnya tidur sama aku, kok malah tidur di sini? (Namakamu), kita bakal nikah besok atau mau launching buku aku dulu? Kamu kan nggak suka nunda-nunda kerjaan," ucap Iqbaal seraya mencium jemari (Namakamu) yang diberi infus.

"Kamu tuh seneng banget sih bikin aku khawatir, seneng banget bolak-balik rumah sakit. Nggak bosen apa? Kata kamu ini tempat keramat, kenapa hobi banget masuk sini?"

Iqbaal terus bermonolog, berharap bahwa gadis cantik ini cepat sadar dan ia akan memarahinya. Karena sudah berbohong. Tiba-tiba, sebuat geliatan kecil terjadi pada gadia itu.

"(Namakamu)? Kamu udah sadar?"

(Namakamu) membuka matanya secara perlahan. "B--Baal? Aku di mana?" tanyanya. "Rumah sakit." Setelah sempurna membuka matanya, gadis cantik itu mengedarkan pandangannya. "Aku kenapa di sini?" Iqbaal memasang wajah juteknya. "Harusnya kamu yang aku tanya begitu! Kamu ngapain? Mau bunuh diri?"

Gadis itu mengerutkan keningnya, kemudian ia ingat kejadian yang telah dilakukannya tadi. "Maaf," ucap (Namakamu). "Maafin aku, Baal." Iqbaal menghela napasnya sejenak, kemudian menggenggam jemari (Namakamu). "Ada yang kamu ceritain sama aku?" tanya Iqbaal hati-hati. Laki-laki itu tak ingin melukai perasaan gadisnya lagi, sudah cukup penderitaannya selama ini. (Namakamu) harus bahagia.

"Apa?"

"Sejak kapan kamu suka melukai diri kamu sendiri?"

"B--Baal, kamu marah sama aku?"

"Enggak, Sayang. Aku cuman tanya, sejak kapan?"

"Sejak kapan apa?"

Iqbaal mendekatkan wajahnya ke arah gadis itu, kemudian menarik tangan (Namakamu). "Kamu mau jelasin ini sama aku?" (Namakamu) terdiam sejenak. "Aku nggak apa-apa, Baal." Iqbaal menatap gadis itu dengan tatapan serius, berharap gadis itu mengerti dengan makna tatapannya.

"Oke, aku jelasin. Tapi, kamu janji jangan marah sama aku."

"Hm."

"Aku selalu ngelakuin ini, kalau aku ngerasa ada beban yang nggak bisa aku tanggung sendiri. Berat banget rasanya, Baal. Aku nggak bisa cerita sama siapa-siapa, biasanya aku nulis itu udah cukup. Tapi, kemarin benar-benar nyakitin banget."

Gadis itu menunduk, kemudian memejam. Mencoba menahan air mata yang ingin turun. "Maaf, Baal. Maafin aku udah nyakitin kamu, nyusahin kamu, bikin kamu kecewa. Ini yang aku takutin dari awal, Baal—"

"Takut?"

"Iya, aku takut. Aku mencintai kamu, kamu mencintai aku. Tapi, semesta tidak memberikan ruang untuk kita."

Iqbaal menggenggam, kemudian menatap gadis itu. "Hey, (Namakamu). Lihat aku," pinta Iqbaal. "Kenapa kamu takut? Iya, kamu bener. Aku cinta kamu, tapi aku belum tau kamu cinta aku. Makasih ya, haha. Ini serius. Aku sayang kamu, aku mau kamu jadi orang yang terakhir untuk aku. Masih ingat makna terakhir, menurut kamu apa?" tanya laki-laki itu.

My Wedding Dream✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang