Dua bulan sudah berlalu. Semenjak Clarisa meminta maaf kepada Aleena dan semua orang yang pernah ia sakiti, tindak pem-bully-an di SMA Adhitama sudah tidak pernah terdengar lagi.
Hubungannya dengan Devan pun makin membaik. Aleena berpikir, pertemanannya dengan Devan akan merenggang karena membaiknya hubungan cinta mereka. Namun, ternyata ia salah. Devan justru lebih perhatian. Saat ia sedih, Devan datang menghiburnya. Saat ia kesulitan, Devan datang menolongnya. Saat ia sendiri, Devan datang menemaninya. Namun, disaat ia butuh sandaran ... Devan tak pernah ada.
***
Hari ini tidak seperti biasanya Devan mengirim chat kepada gadis itu. Ia mengajaknya bertemu di tempat biasa mereka menghabiskan wajtu istirahat—taman belakang sekolah. Tak tahu mengapa, Aleena menyukai tempat itu. Mungkin karena taman itu jarang dikunjungi, jadi tidak ramai. Jujur saja, ia dan Devan memiliki bebarapa persamaan. Salah satunya tidak menyukai keramaian. Mungkin mereka memang berjodoh?
Sesuai ajakannya, Aleena sampai di tempat tersebut. Seperti yang ja duga, sepi. Sama seperti suasana hatinya saat ini. Namun, ia tidak melihat orang yang mengajaknya bertemu. Apa ia mempermainkan Aleena?
'Atau jangan-jangan ... ini ulah kak Clarisa?!'
Seharusnya ia tak berpikir negatif seperti itu. Kakak kelasnya itu sudah berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Ia pun sudah meminta maaf. Tidak mungkin dia berulah lagi.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Ia pikir itu Devan, tapi setelah membalikkan badan ....
"Aaaa!!"
***
Perlahan mata Aleena terbuka. Samar-samar dilihatnya sarang laba-laba. Banyak meja dan kursi yang sudah tidak terpakai. Ia seperti mengenal tempat ini.
Aleena baru ingat. Ia pergi ke taman belakang sekolah karena Devan mengajak bertemu. Namun, ternyata ... itu Clarisa. Ternyata dia menggunakan ponsel Devan untuk mengelabuinya. Ternyata gadis itu belum berubah.
Brakk!
Hantaman pintu yang keras membuyarkan lamunannya. Sakit. Itu yang ia rasakan di sekujur tubuhnya. Ia tidak tahu apa yang mereka lakukan ketika ia pingsan tadi. Hingga membuat kepalanya pusing. Ingin ia memegang bagian yang sakit, tapi tidak bisa. Ternyata tangan dan kakinya diikat
"Eh, pelakor udah sadar, tuh, Clar!"
Suara itu ... sangat familiar di telinga Aleena. Salah satu teman Clarisa yang selalu membantu gadis itu untuk menyakitinya, Meisya. Teman kesayangan Clarisa, mungkin. Aneh, mengapa mereka cuma berdua? Dimana teman mereka yang satu lagi?
"Heh! Apa yang lo liat-liat?!" Clarisa memegang kedua pipinya kasar. Ingin rasanya ia menepis tangan gadis kejam itu. Namun, tangannya masih terikat.
"Lo cari apa? Pahlawan kesiangan lo? Percuma! Gak ada yang tau lo di sini. Cuma gue dan temen-temen gue yang tau tempat ini!" Aleena diam. Tak tahu ingin menjawab apa. Tidak ada kata-kata yang mau keluar dari mulutnya kala itu. Lidah seakan kelu, mulutnya pun beku.
"Heh! Kalo orang ngomong itu diliatin! Punya sopan santun gak, sih?!" Ucapan Meisya membuat emosi Aleena naik. Ia sudah lelah dipandang lemah oleh para pem-bully. Ingin rasanya ia meremas mulut rekan gadis kejam itu, tetapi sayang ia tak mampu.
Plak!
Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi mulus Aleena. Sakit bisa ditahan, tetapi emosi gadis itu sudah di puncak. Untung saja tangannya terikat, kalau tidak ... habis mereka!
"Gimana hadiah gue? Enak, 'kan? Mau lagi? Tenang, besok lo dapat lagi kok. Ya, 'kan, Man?" kekeh gadi kejam itu.
"Yoi! Besok kita siksa dia pagi, 'kan?" Senyum liciknya terukir. Sepertinya ada sesuatu hal gila yang mereka rencanakan.
"Iya, dong! Nanti kita puas-puasin siksa si pelakor ini!" tandas Clarisa. Ternyata ia mengingkari janjinya. Gadis itu benar-benar belum berubah!
"Yaudah, kita cabut!"
"Oh, iya, handphone dia sama lo, 'kan, Clar?" tanya Meisya memastikan.
"Iya. Handphone dia aman sama gue. Yaudah, yuk, balik!"
"Good bye, pelakor!" pamit mereka bersamaan. Dengan sengaja, mereka menutup keras pintu kayu itu.
Aleena hanya pasrah. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya menunggu. Menunggu pahlawan datang menyelamatkannya dari tangan kedua gadis itu. Sebelum nyawanya berakhir sia-sia di sini. Ia tidak sudi nyawa habis di tangan kotor mereka.
'Ya Allah ... berilah Al pertolongan! Keluarkan Al dari tempat kotor, gelap, bau, dan menyeramkan ini. Al mohon, beri Al pertolongan, Ya Allah! Hanya kedapa Engkau Al menyembah dan meminta pertolongan, aamiin ....'
***
Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan Seno baru saja pulang bekerja.
"Bi!" panggil pria berpostur tinggi itu. Bi Surti dengan sigap datang menghampirinya.
"Lembur lagi, Den?" tanya Bi Surti ramah.
"Iya, Bi. Tadi ada kerjaan yang harus Saaih kerjakan hari ini juga."
"Sini tasnya, Den, bibi bawain," tawar Bi Surti. Seno langsung menyodorkan tas kerjanya. Jujur saja, hari ini ia benar-benar lelah. Pikirannya pun kacau, ia selalu memikirkan keadaan adiknya. Ia merasa adiknya sedang dalam bahaya.
"Bi, Aleena mana?" tanyanya memastikan sang adik tercinta ada di rumah. Semoga saja feeling-nya salah tentang dia. Semoga adiknya tidak apa-apa.
"Lah? Bukannya sama, Aden? Memangnya tadi Aden gak jemput Non Aleena?" Wanita paruh baya itu bakik bertanya. Raut wajahnya pun mulai berubah panik.
"Nggak, Bi. Seno gak jemput dia. Tadi gak keburu. Memangnya dia belum pulang, Bi?!" tanyanya mulai panik.
"Belum, Den. Apa mungkin dia ke rumah Den Devan? Atau ke rumah temennya, ya? Soalnya tadi ada yang nganter tas Non Aleena," tutur Bi Surti. Seno mengangguk paham, ada benarnya juga uang dikatakan ART-nya itu.
"Hm, Mungkin sih, Bi. Bentar saya mau telepon Devan dulu. Tas saya tolong taruh di kamar, ya, Bi." Bi Surti langsung melaksanakan apa yang Seno bilang. Lalu, jemari pria itu dengan cepat mengetik nama kontak Devan di kolom pencarian kontak. Setelah ketemu, ia segera meneleponnya.
[Halo, Assalamualaikum. Ada apa, Bang?] sapa Devan dari seberabg sana.
"Waalaikumsalam. Abang mau tanya, Van. Di sana ada Aleena gak?" tanya Seno berusaha tidak panik.
[Gak ada, kok, Bang. Dia juga belum pernah ke sini, 'kan. Emang dia gak ada di rumah, Bang?]
"Gak ada. Kata Bi Surti dia belum pulang."
[Hah?! Jam segini belum pulang, Bang?] Devan terkejut mendengar kabar itu. Ia melirik jam dinding, menunjukkan pukul 21:30. Tak biasanya gadis itu belum pulang jam segini.
"Iya, belum. Makanya abang hubungi kamu. Abang pikir dia sama kamu."
[Aleena gak sama Devan, Bang. Di sekolah tadi Devan juga belum liat dia.]
"Terus dia ke mana, ya? Abang takut dia kenapa-kenapa, Van. Kamu bisa tolong tanyain temen-temennya gak?" Kini Seno mulai panik. Ia sangat takut terjadi apa-apa dengan adiknya.
[Yaudah, Bang, Devan telepon temen-temennya dulu, ya. Mana tau Aleena lagi sama mereka.]
"Oke, tolong, ya, Van. Maaf kalau abang ngerepotin."
[Gak ngerepotin kok, Bang. Yaudah, Bang, assalamualaikum.] Tutup Devan mulai menelepon teman-temannya.
"Waalaikumsalam."
***
Hehe ... maaf baru up😁
Biasalah, kuota gak bisa diajak kerja bakti.
Eh, kerja sama maksudnya😅Kadang suka herman, tiap mau up kuota kagak ada:/
Pas lagi gak mau up, kuota banyak. Herman, deh😑
Oke, see u, Readers~~
Eh, lupa. Kan, gak ada yang baca_-
Nasib Author baru merintis, ya, gini, nih😞
----TBC----

KAMU SEDANG MEMBACA
Aldeva
Teen FictionSelamat membaca❤ Kritik, saran, tanggapannya dibutuhkan. [BELUM DIREVISI] TERBIT✅ _____ Menaruh hati pada sahabat lama bukanlah suatu kesalahan baginya. Namun, karena ia sudah memiliki kekasih, itulah kesalahannya. Maka keputusan yang harus ia lakuk...