Bab 4🍁

126 17 0
                                    

"Clar, lo liat, ‘kan? Mereka akrab banget. Lo gak takut pacar lo kepincut sama dia?" tanya Meisya yang notabene teman satu gengnya. Geng mereka terkenal bad, suka mem-bully. “Lo gak mau ngasih dia peringatan?”

Clarisa tidak menggubris ucapannya. Ia tengah menebak ada hubungan apa sebenarnya antara Aleena  dengan pacarnya. Ia pun memikirkan cara untuk memisahkan keduanya.

"Clar! Lo dengerin gue gak, sih?!" Meisya kesal, ia tak dihiraukan oleh ketua gengnya itu. “Lo itu tuli atau gimana?!”

Sedari tadi Clarisa berusaha mengontrol emosi. Namun, kini ia sudah tak mampu menahannya. Emosinya sudah memuncak akibat ocehan Meisya. Sedangkan Chelsea, teman satu gengnya juga, hanya menjadi penonton perdebatan mereka.

"Lo bisa diem gak, sih?! Gue juga lagi mikir! Gue susah mikir gara-gara ocehan lo!" Meisya bungkam, tidak ada niat untuk menyahut. Ia hanya menunduk dan sesekali melirik ketua gengnya.

Tak lama Meisya mulai berkata, "Sorry, Clar. Gue gak maksud kok. Gue cuma kesel aja gitu, liat Devan deket sama tuh cewek," Clarisa masih tak menggubrisnya. “Gimana kalau pulang sekolah nanti kita kasih dia pelajaran?”

"Oke, nanti pulang sekolah, kita hadang dia. Kalian tahu, 'kan, tempat biasa kita labrak adek kelas?" Gadis itu tersenyum licik.

"Tau, dong!" Meisya sangat bersemangat mendengarnya. Sebab semenjak ketuanya berpacaran dengan Devan, mereka sudah jarang mem-bully.

"Eh, gue baru inget. Hari ini gue dijemput lebih awal sama pak sopir. Kayaknya gue gak bisa ikut, deh. Kalian aja, ya? Nanti ceritain ke gue." Kedua temannya mengiyakan. Mereka tak tahu kalau Chelsea berbohong. Gadis itu memang tidak pernah mau ikut mem-bully. Ia tidak ingin mengotori tangannya dengan perilaku busuk itu.

***

Bel pulang yang telah dinanti-nantikan semua siswa akhirnya berbunyi. Guru-guru yang tadinya mengajar, menghentikan aktivitasnya. Siswa-siswi pun berhamburan keluar.

"Guys, pulang bareng, yok!" ajak Jenny, seperti biasa ia akan memasang tampang memelasnya. Tentu saja agar kedua sahabatnya mau.

"Udah lama juga, sih, kita gak pulang bareng. Gimana, Al?” Syila meminta pendapat Aleena. Karena prinsipnya, “Satu tak ikut, semua tak ikut.”

"Oke, kalian duluan aja dulu. Aku mau ke toilet bentar," pamit Aleena, "sekalian titip tasku, ya."

"Gue sama Syila tunggu di gerbang, ya, sekalian cari angkutan.” Aleena mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan kedua sahabatnya.

***

Selepas dari toilet, Aleena dihadang oleh dua orang gadis. Siapa lagi kalau bukan Clarisa dan Meisya. Ia terkejut, perasaannya tidak enak. Ia merasa mereka akan melakukan sesuatu terhadapnya.

"Oh, ternyata ini ketua OSIS baru itu," ucap Meisya melirik Aleena dari atas ke bawah.

"A--apa mau kalian?" Ia memberanikan diri membuka suara, meski terbata.

"Gue gak mau apa-apa kok. Cuma mau kenalan aja," ucap Clarisa menghampiri gadis itu. Ia tiba-tiba merangkul Aleena.

"Aww," ringis Aleena. Sayatan kecil terukir di lengan kirinya. Darah segar mulai mengalir. tak terlalu banyak memang, tapi tentu terasa sakit.

"Ups, sorry, sengaja!" cibir Clarisa dengan tawa liciknya, diikuti oleh temannya.

Aleena memejamkan mata, menahan sakit di lengan kirinya. Ternyata benar apa yang ia pikirkan selama ini, para pembully bukan tak ada lagi. Hanya saja belum beraksi, dan inilah awal mula aksi mereka. Ia menutupi luka sayatan itu dengan tangan kanannya. Namun, darah segar tak berhenti mengalir.

AldevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang