Bab 18🍁

67 12 0
                                    

Aleena berjalan melewati parkiran, seperti biasa ia akan menuju gerbang untuk menunggu kakaknya. Lama, kakaknya memang lama sekali datang. Apa dia tidak tahu badan Aleena sudah lelah?

Aleena celingak-celinguk, menanti kedatangan kakaknya itu. Namun, kaca spion mobil kakaknya pun belum terlihat. Ia berdecak kesal, selalu saja seperti ini. Sudah 10 menit ia berdiri di sana. Ia menyesal tidak menerima tumpangan yang ditawarkan Syila padanya. Kebetulan, tadi Syila membawa mobil sendiri. Katanya sudah tak mau di antar jemput supir, tidak bebas. Andai ia ikut bersama dengan Jenny juga tadi, pasti sekarang ia sudah rebahan manja sambil membaca Wattpad di kamarnya. Cerita yang selalu dicarinya adalah romance-religi, teenfiction, atau fantasy. Ia kurang suka cerita horor, tapi terkadang ia membacanya juga.

Tiba-tiba tangan seseorang mengejutkannya. Tangan tersebut memegang sebelah pundaknya. Ia menelan salivanya, ia takut orang ini berniat jahat kepadanya. Namun, ia seperti familiar dengan sentuhan ini. Karena penasaran, akhirnya ia menoleh.

"Kak Devan?!" Ia terkejut setelah tahu siapa orang itu. "Kakak ngagetin aja, deh."

"Ya, maaf. Dari tadi gue cariin ternyata di sini." Gadis di hadapannya terlihat bingung.

"Lo lupa sama tawaran gue tadi?" tanya Devan.

"Tawaran apa, Kak?" Bukannya ia pura-pura lupa, tapi ini benar-benar lupa.

"Ya Allah, kenapa cewek hamba yang satu ini lola kayak Dirga," gumamnya. Namun, ia tak sadar gadis di sampingnya mendengar ucapannya, walau samar.

"Hah?!" Aleena tak percaya mendengar ucapan dari kekasihnya. Ah, ralat! Masih sahabat.

"Eh, gak kok," jawab Devan kelagapan.

"Yaudah, ayok!" ajak Devan menarik tangan Aleena lembut, tapi ditahan olehnya.

"Mau kemana?" tanya gadis mungil itu.

"Bikin rancangan spanduknya. Gue bantuin, tapi buatnya di rumah gue. Sekalian adek gue pengen ketemu sama lo." Aleena membulatkan matanya sempurna.

Bagaimana tidak? Adik Devan, yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri, sudah sepuluh tahun lalu. Saat itu Farhan masih kecil, imut. Iya, Farhan, itu nama adiknya. Aneh, 'kan? Ia sejak dulu tahu nama adik, bunda, dan ayah Devan. Tetapi tak tahu nama Devan. Sebab dulu ia memanggilnya dengan sebutan 'kakak', tak pernah menanyakan namanya. Begitu pula dengan Devan.

"Fa-Farhan? Mau ketemu aku?!" tanyanya, "Yang bener? Masa dia masih ingat aku, sih?"

"Iya. Aneh juga, sih. Padahal dia masih tiga tahun waktu itu, masih ingat aja sampek sekarang," katanya.

"Tapi ... aku pulang dulu, ya? Masa aku pakek seragam, nanti kotor. Besok, kan, mau dipakek lagi." Aleena menjelaskan.

"Gimana kalau kita ke mall aja? Sekalian beli ATK buat ngelukis rancangannya. Gimana?" tawar Devan. Aleena berpikir sejenak, lalu mengiyakan.

"Terus kita naik apa?"

"Ngambil mobil ke rumah, keburu sore nanti. Minjem mobil bunda, bunda udah pulang. Oke, kita naik grab aja," ujarnya.

"Yaudah, pesen." Aleena menjawab sekenanya. Entah mengapa belakangan ini mood-nya tak menentu. Devan mengeluarkan ponselnya.

"Al," panggil Devan.

"Jangan bilang gak punya aplikasinya?" Tebakannya tepat sasaran. Devan malah nyengir.

"Kehapus, Al." Gadis itu mengerucutkan bibirnya dengan pipinya yang mengembung. Devan sangat tahu, jika Aleena seperti itu artinya ia sedang kesal.

"Pipinya!" Devan mencubit pipi gadis itu.

"Kakak!" Aleena tak terima dengan perbuatan Devan.

"Apa mau protes? Gue cium pipi lo kayak dulu juga nih, lama-lama," goda Devan.

AldevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang