Bab 12🍁

73 14 1
                                        

Di kamarnya, Chelsea hanya bergumam. Memikirkan cara yang paling tepat untuk menunjukkan keberadaan Aleena kepada orang-orang terdekatnya. Ia berpikir keras, tapi belum menemukan ide yang brilian.

"Gimana, ya? Gimana caranya gue bisa nunjukin keberadaan Aleena? Cara apa yang ampuh?!" ucapnya bermonolog

"Arrgghh!!"

Masih berpikir, tak kunjung dapat ide yang pas. Semua ide yang sedari tadi terlintas di kepalanya tak sesuai.

"Oh, iya! Handphone Aleena!" serunya, ide brilian muncul seketika.

Ia mengambil ponsel Aleena yang ada di laci meja belajarnya.

"Ya Allah, semoga rencana ini berhasil. Aamiin ...."

***

Jam istirahat, Chelsea menjalankan misinya. Tanpa diketahui oleh kedua temannya.

"Lo gak ke kantin, Sea?" tanya Meisya di ambang pintu. Clarisa sudah duluan keluar.

"Gak. Kalian aja, lagi gak mood," kilahnya.

"Oke, gue sama Clarisa duluan, ya," pamit Meisya yang hanya dibalas anggukan oleh Chelsea.

"Gak barengan sama mereka, Sea?" sapa seorang siswi padanya.

"Gak, gue lagi gak mood ke kantin," balas Chelsea.

"Yaudah, gue duluan, ya?" Ia mengangguk. Siswi itu pergi bersama temannya yang sudah menunggu di luar.

Satu per satu murid sekelasnya keluar. Hingga kini tinggal ia sendiri di kelas.

"Saatnya rencana gue berjalan," gumamnya.

***

Sekarang ia tiba di taman belakang sekolah. Ia berjalan mendekati gudang belakang sekolah, dimana Aleena disekap oleh Clarisa. Tak jauh dari kursi taman, ia menaruh ponsel Aleena di tanah. Sebelumnya, ia sudah menelepon Devan terlebih dulu menggunakan ponsel Aleena.

"Bismillah, semoga berhasil. Sekarang gue ngumpet dimana, ya?" ucapnya, menyapu pandangan ke seluruh penjuru taman.

"Nah, di belakang pohon itu aja, deh!" Ia berjalan mendekati pohon mangga yang lumayan besar. Cukuplah untuk ia bersembunyi.

Beberapa saat kemudian, Devan datang. Chelsea memantaunya dari balik pohon. Devan menyapu pandangan ke seluruh taman. Tak ditemukannya tanda-tanda kehidupan. Sepi.

Ia duduk di kursi taman. Tatapannya kosong ke depan. Di benaknya tergambar kenangan-kenangan bersama Aleena.

"Indah," lirihnya, sebuah senyuman merekah.

Bukan senyuman bahagia tentunya. Rindu. Mungkin itu yang sedang dirasakannya. Lelah ia menunggu, orang yang ditunggu tak kunjung hadir.

Jelas sekali terlihat nama kontak Aleena terpapar di layar ponselnya. Belum sempat ia menjawab, sambungan sudah terputus. Lantas pesan masuk muncul dari nomor yang sama. Maka dari itu, dia ke sini dengan tujuan menemui Aleena.

"Apa gue telepon aja, ya," gumamnya. Jemarinya mengetik nama kontak Aleena. Di tekannya kontak tersebut.

Ia mendengar suara dering telepon. Lagu Memories sebagai nada deringnya. Ia ingat betul, itu lagu favorit Aleena. Ia mencari sumber suara. Didapatinya sebuah ponsel tergeletak begitu saja di tanah. Tepat di dekat gudang lama sekolah.

Diambilnya ponsel itu. Dugaannya benar, itu telepon Aleena. Feeling-nya Aleena ada di dalam gudang itu. Perlahan ia mendekat, ia membuka pintu gudang. Namun, aksinya itu tertahan oleh kedatangan Clarisa. Devan segera menyimpan ponsel yang ia temukan tadi di sakunya.

AldevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang