Bab 10🍁

66 14 0
                                    

Sudah dua hari Aleena di tempat ini. Tidak sekolah, badan pun terasa gerah. Lemas. Tak ada gairah hidup. Harapanku pupus ... tak mungkin ada yang tahu tempat ini pikirnya

Sekarang ia tahu ada dimana. Ini gudang sekolah lama. Tak terlalu jauh dari taman belakang sekolah. Siswa yang tahu keberadaan gudang ini hanya dirinya, Devan, Clarisa dan teman-temannya. Badannya lemas. Ingin rasanya Allah menjemputnya sekarang juga. Ia sudah muak dengan semua ini!

'Mengapa aku selalu di-bully?! Ujian? Apakah ini ujian dari-Mu?! Tetapi mengapa sesulit ini? Mengapa selama di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, sampai Sekolah Menengah Atas sekarang ini aku masih saja di-bully? Aku capek! Al capek, Ya Allah!' Ia berseru dalam hati.

Ingin ia berteriak sekencang-kencangnya. Namun, ia pikir hasilnya akan nihil. Tidak ada yang akan mendengarnya. Jarak gudang ini dengan kelas-kelas terbilang jauh. Paling hanya orang yang berada di taman yang dapat mendengarnya.

'Apa salahku? Apa yang pernah aku lakukan kepada mereka? Mengapa mereka mem-bully-ku? Aku capek, muak! Kalo disuruh memilih, aku lebih memilih Engkau jemput. Udah cukup penderitaan yang kualami. Udah cukup orang-orang yang selama ini udah aku buat repot. Udah cukup!' Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Perlahan mulai menganaksungai. Semakin lama, semakin deras hingga membanjiri pipinya. Ia sudah hilang semangat untuk hidup.

***

'Al, lo dimana? Lo pergi ke mana? Maaf kalo selama ini sikap gue bikin lo sakit hati atau merasa tertekan. Atau ... bikin lo cemburu ....
Gue gak maksud. Apa lo pergi karena ingin menghindar dari gue? Kalo itu alasan lo pergi, gue mohon kembali, udah cukup sepuluh tahun kita pisah. Cukup! Please, comeback! Jangan gini, semua orang khawatir sama lo. Semua orang nyariin lo. Tolong, kembali buat mereka, jangan buat gue!'

Tanpa sadar bulir bening itu jatuh ke pipi Devan. Di sinilah ia sekarang, taman belakang sekolah. Tempat ini, tempat yang sering ia kunjungi bersama Aleena. Ia sering menjahilinya dan bercanda bersamanya. Setiap jam istirahat tiba, ia selalu menyempatkan diri menemani gadis mungil itu di sini.

Namun ... kini pria tinggi itu merindukan saat-saat bersama sahabatnya. Sudah dua hari ini Aleena menghilang. Tak biasanya ia seperti ini. Jika ingin pergi, ia pasti bilang. Tapi ini? Ia pergi begitu saja, hilang tanpa jejak.

"Al, lo dimana?! Lo pergi kemana?! Kenapa lo gak ngabari gue, bunda, Bang Seno? Sampai temen-temen lo sendiri juga gak lo kabarin?!
Kalo lo pergi gara-gara gue, tolong kembali. Biar gue aja yang pergi, jangan lo. Please, comeback, Aleena ...," gumamnya sembari menitikkan air mata, lagi.

"Van."

Seseorang menepuk pundak Devan, membuyarkan semua lamunannya. Ia segera menghapus air matanya dan menoleh. Didapatinya Dirga dan Iqbal berdiri di belakangnya.

"Lo ngapain di sini, Van?" tanya Dirga.

"Lo habis nangis?" tanya Iqbal yang menyadari mata Devan sembab.

"Gak."

"Lah, terus? Kenapa mata lo sembab?" tanya Iqbal masih tak percaya dengan jawaban temannya itu.

"Udahlah, balik. Bentar lagi bel." Ia beranjak dan pergi meninggalkan mereka.

"Tuh, anak kenapa, dah?" tanya Dirga heran.

"Galau mungkin. TTM-nya pergi entah kemana. Ngilang gitu aja," jawab Iqbal santai.

"TTM-nya? Siapa maksud lo?" Satu jitakan mendarat di dahi Dirga. Ia meringis sambil memegangi dahinya.

"Apaan, sih, lo? Sakit bego!" murkanya.

"Heh, gue baik, lho. Gue jitakin lo itu supaya lo gak terus-terusan lola!" pekik Iqbal. Temannya yang satu itu memang kadang lola. Cukup sabar ia menghadapinya.

AldevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang