Bab 16🍁

74 14 0
                                    

Pagi ini seharusnya upacara bendera. Namun, dibatalkan sebab hujan deras mengguyur ibukota. Sejak pukul 07:30 hingga sekarang pukul 09:30, hujan belum juga reda. Devan menatap rintik air dari jendela yang tak kunjung usai. Ia tak menghiraukan guru yang sedang mengajar di depan.

Pria itu teringat kenangannya bersama seseorang. Sudah lama memang, tapi ia masih ingat jelas sosok gadis manis berlari bersamanya di bawah rinai hujan. Surai hitamnya yang tergerai, dibasahi oleh hujan sore itu. Namun, sekarang gadis itu terbaring lemah tak berdaya. Ia sudah lama terbaring di ranjang karena ... penyiksaan itu.

Kringg!

Jam istirahat telah tiba. Semua siswa berhamburan keluar. Tapi tidak dengan Devan, ia masih duduk kukuh di tempatnya. Menangkupkan wajahnya dengan sebelah tangan dan masih menatap ke luar jendela.

"Van!" Seseorang menepuk pundaknya. Ia menoleh, didapatinya kedua sahabat konyolnya.

"Kantin, yok, Bro!" ajak Dirga bersemangat.

"Lo berdua aja, gue males ke kantin." Ia menatap kedua sahabatnya sekilas, lalu kembali menatap hujan yang mulai reda.

"Yaudah, mau nitip kagak?" Kini Iqbal yang mengeluarkan suara.

"Gak."

Jawaban dingin dari Devan membuat mereka mengerti bahwa ia sedang tak ingin diganggu. Pria itu masih menatap hujan yang semakin mereda.

Drrtt!

Ia merogoh sakunya, satu panggilan tanpa nama terpampang di layar ponsel. Biasanya ia tak akan menjawab nomor tidak dikenal, tapi entah mengapa jarinya tertuju pada ikon telepon berwarna hijau itu.

"Halo?"

[Apa benar ini Mas Devan?]

"Iya, saya sendiri. Ada keperluan apa?"

[Pasien atas nama Mbak Aleena baru saja siuman. Kami sudah menghubungi keluarganya dan sekarang sedang di perjalanan. Tapi Mbak Aleena terus-terusan menyebut nama Mas, untung saja nom–]

Mendengar kabar itu, Devan langsung mematikan panggilan tersebut. Ia segera menyandang tasnya dan membawa hoodie navy yang diletakkannya di laci meja. Ia bergegas keluar, satu tempat tujuannya saat ini, rumah sakit.

***

Devan membuka pintu sebuah ruangan. "Bun, pinjem mobil boleh?"

Iya, sekarang ia berada di ruangan Bundanya. Fitria mengernyitkan dahinya. "Buat apa?"

"Mau ke rumah sakit, Bun. Aleena ... udah siuman." Fitria terbelalak mendengarnya. Perasaannya tercampur antara terkejut dan bahagia.

"Yaudah, nih. Hati-hati, kabrin bunda. Nanti bunda izin sama guru yang ngajar di kelas kamu." Fitria menyodorkan kunci mobil. Putra sulungnya tersenyum senang.

Devan mengangguk, ia segera menerimanya dan bergegas pergi. "Makasih, Bun."

"Sama-sama. Jangan ngebut, Nak!"

"Iya, Bun!"

***

Akhirnya Devan sampai di rumah sakit. Pria itu segera menuju ruangan Aleena. Ia meninggalkan tas dan hoodie-nya di dalam mobil.

Sampainya di ruangan gadis itu, tangisnya pecah. Bukan tangis sedih, tapi tangis bahagia. Lalu, menghampiri Seno dan seorang dokter wanita yang tengah berdiri di samping ranjang gadis itu.

"Van? Kamu gak sekolah?" tanya Seno heran.

"Tadi udah izin, Bang." Seno mengangguk mengerti.

"Oh, iya, duduk Van." Dokter wanita itu pun segera keluar bersama Seno. Sepertinya ada yang mau dibicarakan.

AldevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang