England, Agustus 13 2008
Davyan Johnson dan istrinya, Marie Johnson kini berusaha lari dari kejaran orang-orang berseragam militer. Di gendongan sang kepala keluarga, meringkuk takut seorang bocah laki-laki yang baru saja menginjak usia delapan tahun.
"Daddy" lirihnya. Davyan hanya bisa memeluk erat sang putra, sedangkan tangannya menggenggam erat tangan istrinya.
"Dear, kita harus belari sampai sejauh mana?" lirih sang istri yang nafasnya sudah mulai tersengal.
"Sampai kita bisa keluar dari hutan ini, kumohon tetaplah berlari." Davyan berucap memohon pada sang istri.
"STOP JOHNSON! WE WILL SHOOT YOU IF YOU DO NOT STOP!" orang-orang itu berteriak mengancam, bahkan tak segan mereka menembakkan senapan mereka sebagai peringatan. Namun, Davyan mengabaikan itu dan tetap berlari.
DOR!
"MOMMYY!" si kecil berteriak kaget saat sebuah tembakan terdengar dan menumbangkan sang ibu. Davyan yang terkejut karena tubuh istrinya yang jatuh.
"Dear, Marie, hey! Wake up!" Davyan berjongkok dan menurunkan si kecil. Dia memangku sang istri yang kini sudah bersimbah darah. Langkah derap makin dekat.
"Marie, wake up, dear." Marie dengan sisa tenaga yang ia miliki melepas kalung miliknya.
"D-Dear... just run... ig... nore me..." Davyan menggeleng, dia tak bisa hidup tanpa sang istri.
"Run, my dear, run. You... n... need to stay... ali... ve." tepat setelah mengatakan itu, Marie menghembuskan nafas terakhirnya. Davyan tak bisa menahan tangisnya, sedangkan si kecil mendekati sang ibu.
"Mommy, mommy..." si kecil berusaha mengguncang tubuh sang ibu. Davyan dengan hati yang dilanda kesedihan, dengan berat hati memutuskan untuk meninggalkan jasad sang istri dan membawa pergi putra kecilnya.
"Lysander sayang, kita harus pergi." Davyan membawa tubuh si kecil kembali dalam gendongannya. Mereka sudah hampir dekat.
"Daddy, but- mom..." Davyan menggeleng.
"Daddy juga merasa berat meninggalkan mommy, tapi kita harus tetap pergi dari sini. Sebentar lagi kita akan sampai." Davyan menatap sang istri untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya berlari pergi dari sana dengan berderai air mata.
DOR!
"Akh!" kaki Davyan tertembak, namun dia masih harus berlari lagi. Jika dia memang harus mati, setidaknya putranya harus tetap hidup.
"Daddy?"
"Daddy is fine." ujarnya sembari menahan ringisan. Dia sebentar lagi sampai.
"DAVYAN JOHNSON!" Davyan tak memperdulikan teriakan tersebut dan tetap berlari dengan kaki terluka.
'Sudah terlihat' Davyan bisa melihat bayangan sebuah mansion. Dengan tenaga yang tersisa dia mempercepat langkahnya meski dengan kepayahan. Namun saat kakinya tinggal beberapa langkah lagi sampai daerah mansion itu berada-
DOR!
BRUK!
"DADDYYYYY!" Lysander kecili segera bangkit dan mengguncang tubuh daddynya. Namun tak ada reaksi.
"NO DADDY! DON'T LEAVE ME ALONE!" si kecil Lysander mengguncang tubuh sang ayah semakin kencang, namun tetap saja tak ada respon dari tubuh yang kini sudah tak bernyawa. Tembakan tadi tepat mengenai jantung Davyan.
"Cih!" para orang-orang berseragam militer itu kini sampai di hadapan Lysander kecil.
"Anak manis, mari ikut paman. Tinggalkan jasad ayahmu dan ikut paman, kau akan hidup enak dan tenang." bujuk pria yang mengenakan baret merah. Si kecil Lysander menggeleng.
"Paman jahat! Paman bunuh orang tua Lysander!" teriaknya. Tubuh kecil ringkihnya bergetar takut. Tidak ada ayah dan ibu yang akan melindunginya sekarang.
"Seret saja anak itu!" ujar salah seorang kawannya. Dan dengan begitu tubuh kecil Lysander ditarik paksa menjauh dari jasad sang ayah.
"NO! Lepas!" Lysander berusaha memberontak sebisanya, namun tenaganya jelas kalah dengan paman-paman tersebut.
"Diam!" Lysander yang mendapat bentakan itu dalam sekejap langsung terdiam. Dia terisak takut.
"Ayo pergi! Kita jual anak ini!" namun baru sepuluh langkah, suara tembakan terdengar dan menumbangkan pria yang menyeret Lysander kecil.
"SIAPA DISANA?!" sepuluh orang pria itu mengangkat senjata mereka. Menatap sekitar dengan waspada.
BRUK!
"Kalian yang harusnya kutanya seperti itu, kalian siapa, hah?" lima orang berseragam serba hitam baru saja turun dari pohon. Lysander kecil semakin ketakutan melihat mereka. Dipikarannya saat ini dia pasti akan menyusul kedua orang tuanya cepat atau lambat.
"Berani sekali kalian melangkah mendekati wilayah keluarga Archambault!" seorang dari lima orang tersebut berkata dengan nada penuh ketidak sukaan.
Orang paling tinggi di antara mereka mendekati jasad yang tak jauh dari mereka. Saat mengeceknya, matanya membulat sempurna.
"D-Davyan?" lirihnya. Matanya seketika menajam menatap kumpulan orang berpakaian militer itu.
"Kalian? Kalian membunuh Davyan?!" pria tinggi itu dengan cepat mengambil senapannya dan menembaki sembilan orang itu tepat di jantung mereka. Lysander kecil berjongkok dan menutup kedua telinganya sembari menangis ketakutan.
"Hentikan, Gerald! Ada Lysander disana!" laki-laki yang berdiri paling depan segera berlari dan berjongkok di depan Lysander.
"Lysander, ini paman, hei!" Lysander tak mendengarnya dan hanya bisa menangis. Laki-laki itu segera menggendong Lysander kecil.
"Aku akan menulusuri tempat ini siapa tahu aku menemukan Marie." ujar yang bertumbuh mungil diantara mereka.
"Aku akan menemanimu Zen." lelaki tinggi yang tadi menembaki sembilan pria berseragam militer itu beranjak dari tempatnya dan menemani laki-laki mungil tadi untuk mencari sosok Marie.
"Lysander sudah jangan menangis, kita akan ke mansion, kau bisa bertemu dengan Xander, dia akan menemanimu." Lysander masih tak menyahut dan hanya menangis.
Tepat di hari ulang tahunnya, dia kehilangan kaka dan kedua orang tuanya, dan parahnya mereka mati terbunuh tepat di hadapan matanya.
"Lysander, ini dari kantong ayahmu, aku akan pakaikan." laki-laki berwajah feminim mendekati Lysander yang masih menangis dan memakaikan kalung yang si kecil sangat ingat itu kalung yang diberikan oleh ibunya tadi.
"Lysander, jangan menangis, mulai sekarang, Lysander akan ada dibawah pengasuhan keluarga Archambault bersama Xander, kami tak akan membiarkanmu hidup sendiri. Lysander harus tetap menjalani hidup meski daddy dan mommy Lysander sudah tak ada, 'kay?" Lysander kecil saat itu hanya bisa mengangguk dengan berusaha keras menahan isak tangisnya.
"Puaskan menangismu, tapi berjanjilah setelah ini Lysander tak akan menangis lagi. Lysander harus tersenyum apapun itu yang terjadi." dan detik setelahnya Lysander menangis keras dan terdengar begitu pilu.
.
.
.
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
[NOMIN] The Secret
FanfictionLee Jeno dan Na Jaemin, siapa yang tidak mengenal dua idol yang namanya tengah naik daun di bawah naungan SM Entertaiment di bawah payung NCT? Tentu saja tidak ada yang tidak kenal. Dibalik persahabatan 7 tahun lebih mereka, banyak kisah yang harus...