"Kau kehilangan bayimu."
Jiyeon baru bangun dari pingsannya dan kata pertama yang diucapkan Minho adalah kau kehilangan bayimu yang terasa begitu mencekam kewarasannya. Jiyeon merasakan tubuhnya sangat dingin dan rasa sakit dikepalanya bertambah hebat, luka-luka ditubuhnya kini juga mulai terasa sakit. Dia kehilangan anaknya.
Minho mengatakan bayimu bahkan anaknya sampai detik terakhir kehidupan tidak merasakan pengakuan dari ayahnya sendiri. Ya, bayi itu miliknya dan hanya dia yang kehilangan atas bayinya. Jiyeon merasa suaranya tercekat dan dia mulai menangis keras, dia kehilangan bayinya, ini salahnya yang tidak bisa menjaga bayinya dengan benar. Isakannya membuat dukanya semakin terasa, kenapa harus bayinya?
Anak itu bahkan belum memiliki nama.
"Jiyeon, aku tahu-"
"Keluar... aku tidak mau kau ada sini... keluar." Jiyeon berteriak marah pada namja yang berdiri tidak jauh darinya, Minho terlihat kokoh disana seolah ia tidak akan pergi walaupun Jiyeon berteriak memarahinya.
"Tidak, kau membutuhkanku disini."
"Pergi! aku tidak ingin kau disini, aku tidak mau bertemu denganmu. Kau dan ayahku sama jahatnya, kalian bajingan." Jiyeon tidak bisa mengontrol emosinya sendiri, dia lelah dan kehilangan anaknya dan sekarang melihat Minho sama saja mengulitinya hidup-hidup.
"Bukan hanya kau yang kehilangan bayi itu. aku juga."
Jiyeon berhenti menangis tiba-tiba mendengar ucapan Minho.
"Aku tidak pernah menyebutkan bayiku adalah anakmu. Untuk apa kau berduka untuknya! kau tidak pantas berduka untuknya, hanya aku yang pantas berduka untuknya." Jiyeon sangat marah dan dia merasa tenggorokannya sakit, ia benar-benar depresi dan tidak bisa mengontrol dirinya saat ini.
Minho terlihat terkejut dengan respon Jiyeon.
"Anakku hanya milikku, dia tidak punya siapapun selain aku." ucap Jiyeon menekan setiap kata-katanya, matanya melotot karena kemarahan dan dia terlihat sangat berantakan.
"Kenapa tidak kau katakan bahwa kau hamil?" Minho bertanya dengan suara yang masih ia kendalikan. Ia juga dilingkupi emosi, kehilangan bayi itu juga membuatnya terpukul dan ia kehilangan bayi itu lebih dulu bahkan sebelum ia tahu bahwa ia akan menjadi seorang ayah.
"Untuk apa? seolah kau perduli."
"Aku memberikanmu banyak uang, seharusnya kau bisa hidup nyaman. Kau bisa membeli rumah yang mewah jika kau mau, aku memberikanmu fasilitas untuk itu."
"Lebih baik kau pergi." bisik Jiyeon lemah sambil menahan rasa terpukulnya.
"Aku tidak akan pergi, walaupun kau mengusirku. Keadaanmu saat ini adalah tanggung jawabku, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu sampai aku tiba di korea dari perjalanan bisnisku dan kembali ke apartemen kemarin dan mengetahui kau tidak membawa satupun fasilitas yang kuberikan. Siapa yang memukulmu?" Minho menjadi geram dan marah melihat bekas lebam disekujur tubuh Jiyeon.
"Bukan urusanmu." Bisik Jiyeon marah.
"Jiyeon."
"Aku tidak mau berhubungan lagi denganmu, lanjutkan hidupmu Choi Minho dan jangan ganggu aku lagi."
"Ada sesuatu yang tidak kau katakan padaku." ucap Minho penuh tekad.
"Pergilah aku mohon."
"Kau berhutang penjelasan padaku kemana uang yang kuberikan dan mengapa banyak memar diseluruh tubuhmu. Kau tidak-"
"AKU TIDAK MELACURKAN DIRI JIKA ITU YANG KAU PIKIRKAN."
"Astaga! Aku tidak berpikir kau melacurkan dirimu." Minho terperangah. Ia berpikir bahwa mungkin saja Jiyeon bekerja kembali dan mendapatkan lebam-lebam itu karena bekerja terlalu keras bukan karena, dia tahu dari dalam lubuk hatinya ia tahu Jiyeon tidak akan melacurkan dirinya.