24. Satu Minggu Sebelum Pensi dan Graduation

1.2K 42 9
                                    

Seperti hari - hari biasa, Redan disibukkan dengan acara sekolah. Cowok itu kini tengah berbincang serius dengan Gania yang merupakan Adik kelasnya itu. Pengurus acara entah dari Osis ataupun dari beberapa orang pilihan seperti geng Rey yang memang sejak dulu selalu bergabung saat mengadakan acara seperti ini. Itu merupakan tradisi dari saat sekolah dibangun.

Rey dan teman - temannya memang tidak mengurusi administrasi, mereka hanya mengatur dan merancang jadwal sebagai syarat bahwa mereka telah ikut andil. Dan biasanya di hari H, mereka akan berjaga - jaga dengan bergantian.

"Iya kalau menurut gue mending sofa kepala sekolah sama guru lainnya itu di tengah, jadi di pinggir mereka ada komite dan anak - anak yang bakal tampil selanjutnya gitu, ya, 'kan?" usul Gania.

Redan terdiam. Cowok itu memikirkan apakah itu efektif. "Boleh. Oke, deh. Atur ya, Gan."

Gania mengangguk, lantas membiarkan Redan berjalan mengitari auditorium SMA Plus Pelita Kasih. Cowok itu melihat bagaimana Novi bekerja sebagai apa saja. Bisa mengatur, merancang dan mengawasi. Sejujurnya, semenjak Rara tidak se-dingin awal kepadanya, Redan tak begitu memikirkan Novi di hidupnya. Entah mengapa Redan malah selalu memikirkan Rara.

Redan melihat Rey dan teman - temannya yang sibuk memasang spanduk kelas dan macam - macam. Redan juga melihat Leon dan Fahri bekerja sama mengatur bangku untuk para hadirin.

Redan melirik jam di tangannya. Sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia berada di sini, Rey juga di sini. Apakah Rara masih di sekolah? Apakah gadis itu menunggu salah satu dari mereka?

"Redan." tiba - tiba Redan mendengar Rey memanggilnya. Redan sontak menoleh. "Rara ngabarin lo?"

Redan menggeleng. "Enggak."

"Kemana, ya? Doi enggak bilang ada di mana. Gue mau pulang enggak enak sama yang lain." ujar Rey.

Redan mengangkat sebelah alisnya. "Ya enggak usah."

"Tapi, gue takut Rara kenapa - napa."

"Kenapa - napa?" tanya Redan, mengulang. "Bukannya semenjak lo menyetujui pernikahan ini dan lo bilang gue nyelamatin lo, Rara udah kenapa - napa, Bro?"

Rey terdiam. Cowok itu membeku.

"Dia hancur. Minum dua botol sendirian, ngerokok di balkon. Apa itu enggak papa?" lanjut Redan, membuat Rey semakin membeku.

"Dan...," panggil Rey. "Lo enggak paham, gue udah coba buat ngeudahin hubungan gue sama Reghina, tapi dia susah buat gue jauhin."

"Rara juga udah terlanjur tau, gue harus apa?"

Redan menyunggingkan senyum sinis, lalu meremas bahu Rey. "Lo cowok. Lo lebih tua dari gue dan Rara. Lo selalu mainin perasaan orang semenjak jadi kayak gini. Dan alasan itu karena Gewa, 'kan? Setelah cewek itu balik lagi, apa lo bakal tambah kehancuran Rara dengan adanya Gewa?"

Rey tahu, ia salah. Cowok itu tidak menyalahkan Redan. Redan benar. Rey memang bajingan. Bahkan saat Gewa kembali, Rey benar - benar memikirkan apakah Gewa masih berharap padanya.

"Lo pilih. Kalau emang lo enggak sanggup...," Redan menggantungkan kata - katanya. "Gue sanggup buat jaga Rara. Better than you. Karena lo tau apa?"

"Gue suka sama Rara."

Setelahnya Redan meninggalkan Rey yang terdiam, membeku. Redan tahu pasti Rey tidak akan tinggal diam saat Rey tahu bahwa ia menyukai Rara. Tapi, memang itu faktanya. Redan memang menyukai Rara. Mungkin baru sampai tahap menyukai, namun ia tidak bisa mengontrol perasaannya. Bisa saja ia menjadi cinta pada Rara malam ini, 'kan?

My Perfect HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang