Prolog

92 23 46
                                    

Apakah memiliki teman harus serumit ini? Bak mencari jarum di tumpukan jerami.
-Langit

      "Gue nggak mau tahu, pokoknya lu kudu bisa narik lima puluh cewek dalam seminggu. Kalo nggak gue tambah lima puluh lagi!"

       Ucapan temannya itu terus terngiang di gendang telinga Langit. Dia tak ingin dijauhi teman-temannya, hanya itu aset yang dia punya. Dia ingin menjadi pemenang di depan teman-temannya, macho katanya.

       "Tuan Muda Langit, waktunya sarapan. Tuan diperintahkan oleh Nyonya Anna dan Tuan Drey, untu—"

       "Aku turun bentar lagi, Mbok. Makasih ya!" potong Langit ramah.

       Wanita paruh baya dengan rambut disanggul itu menganggukkan kepalanya pertanda paham, lalu tersenyum kecil. Dia tahu pasti Tuan Muda-nya tak akan pernah berubah. Ajaran yang dia ajarkan sejak dulu, masih dipraktikkan olehnya. Setelah wanita itu pergi, Langit menghela napas lelah. Dia mengambil salah satu ponselnya. Lalu mengirim pesan ke dua puluh lima wanita, dengan nama berbeda setiap pesannya. Dengan nomer whatsapp berbeda pula. Setelah dirasa cukup, dia menunjukkan bukti screenshot kepada teman yang menelponnya tadi.

        "Kok dua puluh lima cewek sih? Lu cupu banget astaga, kuranglah. Coba lu tambahin dua puluh lima lagi, awas aja lu ga bisa bikin semua cewek itu bertekuk lutut, abis lu ama gue!"

       "Kenapa gue mesti takut ama lu?" tanya Langit bingung.

       "Gue ketua gengnya men, lu kalo mau gabung ya harus ikut aturan mainnya!"

       "Dengan mainin cewek? Gimana kalo mereka patah hati gegara gue? Atau buruknya mereka bunuh diri gara-gara gue?"

       Suara berat di seberang telfon terbahak-bahak lalu berkata, "Men, lu tahu nggak banyak cewek yang peduli sama cowok. Jadi, lu nggak usah belagak peduli. Seakan-akan lu yang kami sakitin, ingat, Men. Elu juga cowok, lu lebih berkuasa dengannya. Astaga gue cerewet banget, udah kayak Pak Ustad yang lagi ceramah."

      "Kev, nyokap gue juga cewek!" seru Langit dengan suara pelan. Lelaki yang di panggil 'Kev' mengdengkus kesal. Telfon itu masih tersambung, Langit jelas mendengar dengkusan itu.

      "Lu masuk anggota gue, lu ikutin aturan mainnya. Di sini lu bakal dapetin temen yang selama ini lu impikan," tekan suara berat itu lagi. Lalu percakapan berakhir begitu saja, Langit mematikan ponselnya dengan geram. Tangannya tergerak mengambil buku notes di dekatnya. Mencoret asal di sana, apa pun yang bisa dia coret. Dia mengarang seratus
nama palsu untuk hal menyebalkan ini, sebenarnya Langit tak ingin semua ini terjadi begitu saja. Dia selalu berhati-hati dalam mengerjakan sesuatu. Dia akan memprediksi prosentase antara kerugian dan keuntungan. Setelah semuanya clear, dia akan menyiapkan semuanya secara matang dan terarah. Kali ini, Langit tak menemukan keuntungan sama sekali. Dia lebih banyak menuai kerugian, selain paketannya berkurang. Uang tabungan yang selama ini dia simpan habis dibelikan ponsel sebanyak-banyaknya, untuk membohongi puluhan cewek di kotanya. Merepotkan sekali. Begitu pikirnya. Baru dua menit dia menenggelamkan pikirannya ke alam bawah sadar. Satu suara sanggup membuatnya kaget setengah mati.

        "Langit? Bunda sama Ayah udah laper, kamu lama banget, Sayang. Ngapain sih? Bunda buka ya!"

         Suara itu membuat Langit segera mengemasi seluruh gawainya, menyembunyikannya ke tempat yang Bundanya tidak akan pernah melihatnya. Bundanya tidak perlu tahu akan ini, dia akan menyembunyikan serapi-rapinya. Langit tak ingin Bunda kesayangannya sedih.

          "Bagus, pura-pura tidur ya?" ucap Bunda Anna kesal, tangannya melipat di atas dada. Mengerucutkan bibirnya sebal.

          "Bangun, Langit!" serunya lagi.

           "Siap lapan enam,ada yang bisa saya bantu, Nyonya Anna?" tanya Langit seraya memerankan tokoh polisi yang biasa tampil di acara TV nasional.

            "Anak siapa sih?"

            "Anak tunggal dari Nyonya Anna dan Tuan Drey, bagaimana? Udah keren belum? Cocok nggak Bun? Jadi itu tuh, aktor film?" alis Langit naik turun, dia senang menggoda Bundanya.

             "Udah? Akting konyolnya? Yuk, ntar kamu diomelin Ayah lagi, cepet makan terus belajar. Ayah mau kamu kuliah di Cambridge jalur undangan!" ujar Anna sambil tersenyum manis, tangannya tergerak mengusap kepala anaknya.

             "Bun, emang Ayah nggak mampu ya? Biayain aku kuliah? Walau di Indonesia aku nggak apa kok Bun, asal niat kan pasti semuanya jalan!" suara Langit melemah, dia tahu hal yang dia lakukan adalah sia-sia.

             "Kalo kamu mau tahu, tanya sama Ayah aja, yang pasti Ayah ingin yang terbaik buat anaknya. Termasuk kamu!"

             "Langit takut nggak kuat Bun, Langit nggak mau kecewain kalian."

             " Makanya Langit, harus buktikan kalo Langit itu bisa, jangan kecewain kita. Udah ya, yuk turun, kita sarapan bareng. Mumpung lagi weekend!"

             "Duluan aja Bun, ntar Langit turun kok. Mau mandi bentar, nggak apa kan, Bun?"  Anna mengangguk singkat, mengusap puncak kepala Langit dan berlalu.

           Sepeninggal Bundanya, Langit memikirkan hal yang lebih rumit dari segalanya. Dia ingin Bunda dan Ayahnya tidak menuntut ini itu kepadanya. Dia ingin berjalan di atas jalannya sendiri. Tidak bergantung, ke Bunda maupun Ayahnya. Tidak ingin merepotkan keduanya, karena itu Langit ingin mencari teman atau sahabat yang bisa menerima semua keluh kesahnya. Serta merespon harus bagaimana hidupnya nanti, mencari sahabat pun. Tak semudah yang dipikirkan sebelumnya. Langit harus menjalani berbagai syarat sulit, salah satunya menjadi playboy dadakan.











To be continued ...

#35PartChallenge
@moccachinopublisher

Hai guys, welcome😄semoga suka. Tunggu up selanjutnya ya.

Mila🦋

SiriusWhere stories live. Discover now