Kenapa, kita terlihat seperti kawan lama?
-Bintang
"Sekali lagi, kepada Langit Anggara kelas XI IPA 1, dan Bintang kelas X IPA 2, dimohon ke ruangan Bu Veronica. Segera."
Suara mikrofon itu jelas sekali terdengar, Bintang dan Reyna baru saja akan melangkah ke arah kantin sekolah.
"Itu? Lu dipanggil, Tang?" kata Reyna retorik.
Bintang mengangguk mengiyakan, Reyna ber oh ria.
"Dih, anak pungut dipanggil? Belum bayar SPP? Kasian banget! Makanya jadi anak itu tahu diri dikit, nggak usah belagu!"
Bintang menahan langkah Reyna, yang akan membalas kapan saja dia mau.
"Lu iri bilang kek, emang lu udah tahu? Kalo itu panggilan buat yang nggak bayar SPP?" tanya Reyna ketus.
"Ya tahu lah, siapa juga yang nggak tahu. Apalagi dong? Kalo bukan SPP?"
Putri menyilangkan tangannya di dada, mata sipitnya menatap Bintang penuh kebencian.
"Tahu dari mana?" tanya Reyna menantang.
"Kalo nggak percaya tanya aja sama siswa yang lewat!" seru Putri kesal.
Dari beberapa siswa yang lewat Putri menyetop Kakak kelasnya, anak kelas XI IPA 1.
"Kak Ivan?" tanya Putri.
"Iya kenapa?" Ivan mengangkat sebelah alisnya bingung.
Reyna membolakkan matanya, tak menyangka si culas Putri benar-benar bertanya pada siswa.
"Itu, yang dipanggil ke ruang Bu Veronica kenapa?"
"Kenapa lu nanya gue?" tanya Ivan balik.
Putri terdiam, tangannya mengepal tak terima. Reyna menyumpal mulut dengan tangan, dia menahan cekikikan lolos dari bibirnya.
Melihat Putri terdiam, Ivan merasa iba.
"Eum gue nggak tahu pasti, Dek," kata Ivan.
"Apa itu peringatan tagihan SPP, Kak?"
Kali ini Reyna bertanya kepada cowok jangkung di depannya.
"Hah? SPP?" Ivan mengulang pertanyaan gadis di depannya, kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Setahu gue, Langit orangnya tajir banget. Bokap sama Nyokapnya punya usaha di mana-mana, bahkan sampe ke luar negeri. Masa iya tuh bocah nggak bayar SPP, nggak mungkin lah," jelas Ivan, tawa dari mulutnya masih belum reda.
Putri masih diam, meresapi kata-kata Ivan, dalam hati gadis itu membenarkan. Siapa yang tidak mengenal Langit, anggota geng Kevin. Murid baru SMA Permata Bangsa. Dengan menekan rasa malu, Putri menyenggol lengan Bintang keras. Mengabaikan cekikikan Reyna.
"Hahahahha, mau bilang apa lagi tuh. Cewek sok cantik, sok tahu lagi! Hahahahhaha," teriak Reyna puas.
Ivan masih di sana, menyaksikan sindiran pedas dari bibir cantik Reyna. Mengerutkan kening bingung.
"Eh, bukannya lu Bintang?" tanya Ivan memastikan.
Bintang mengangguk sopan, mengiyakan.
"Lu dipanggil juga tuh, bareng sama Langit. Wah cocok ya kalian berdua, Bintang dan Langit. Awannya mana?" canda Ivan, matanya mengerling jahil.
Bintang terdiam, Awan. Nama itu lagi, kembali dia mengingat saat-saat bersama Awan sang mantan.
"Yaudah gue duluan ya, bye kalian," ucap Ivan santai, sambil melambaikan tangan ke arah mereka berdua.
Tanpa Ivan sadari, dia telah meruntuhkan pertahanan Bintang. Reyna mendengkus kesal, dia tak dapat mengalahkan Ivan. Karena Ivan tak tahu menahu tentang Awan.
"Udah, Tang. Nggak perlu lu pikirin, gih sana ke ruangan Bu Veronica. Pasti si gaje Langit udah nungguin elu! Semangat ya!" seru Reyna, mengepalkan tangan semangat. Berusaha menyalurkan kata itu kepada sahabatnya, Bintang.
Bintang menganggukkan kepalanya, berusaha tersenyum. Kakinya perlahan melangkah ke ruangan Bu Veronica.
Sesampainya di sana, Bu Veronica tak ada. Bintang menjumpai Kakak kelasnya, Langit Anggara tengah membaca buku di sofa. Diam-diam gadis itu memandangi Langit seksama.
"Elu? Kenapa nggak duduk aja? Nggak usah natap gue gitu, kalo suka itu bilang. Ntar gue print foto khusus buat elu!" seru Langit santai. Matanya tak berpindah dari buku itu.
Bintang terkesiap, dia malu ketahuan memandang Langit. Mulutnya membuka, hendak bertanya kepada cowok di depannya.
"Bu Veronica masih ngajar, kita disuruh tunggu di sini," jelas Langit santai.
"Eh? Kenapa Kakak tahu? Kalo Bintang mau nanya itu?" tanya Bintang heran.
"Kakak suka baca pikiran?" tunjuk Bintang kemudian.
Langit meletakkan buku yang dipegangnya, menatap Bintang penuh percaya diri.
"Gue itu ..."
Langit menggantung ucapannya, menunggu reaksi Bintang. Bintang hanya diam.
" ... manusia," lanjutnya terbahak.
Bintang melemparkan barang di dekatnya ke arah Langit, cowok berkulit putih itu masih terbahak-bahak, menangkis serangan Bintang. Seketika Bintang merasa bersalah.
"Ma ... af, Kak. Bintang nggak bermak-"
"Apaan sih? Santai aja kali," cetus Langit, menyilangkan kakinya.
"Ih nggak boleh tahu! Motong pembicaraan orang lain!" seru Bintang kesal.
"Kenapa?" tanya Langit antusias.
Entah kenapa, mengobrol dengan gadis ini membuat hatinya sedikit tenang. Pikirannya damai, hilang seluruh beban.
"Kak, tahu kan? Martabak itu dipotong enak, tapi kalo ucapan dipotong nggak enak. Kadang orang bisa lupa, apa yang akan diucapkannya," jelas Bintang.
Bintang melangkah ke arah sofa, mendudukkan diri di agak jauh dari tempat Langit.
"Oke, gue paham cantik!" seru Langit.
Pipi Bintang bersemu merah, harusnya tidak seperti ini. Dia hanya bisa menunjukkan rasa ini di depan Awan.
Langit tersenyum mencurigakan, perlahan dia mendekatkan wajahnya ke arah Bintang. Matanya menatap Bintang aneh,
"Kak? Jang-"
.
.
.
.
.
.Next✌🏻
Happy Reading
Visual Reyna di atasMila-chan😈