Jangan hadir, jika hanya akan memberi darah! Kau telah mengotori kisah kita, aku susah payah membersihkannya!
-Bintang
"Bintang."Gadis itu tersenyum, lagi. Tubuhnya berbalik penuh semangat, seketika siluet itu menghapus senyum di wajah Bintang. Tanpa sisa.
"Kenapa? Kamu nggak bales chat Kakak?"
"Buat apa? Bukannya Kakak mau bahagia sama Mama? Bukannya Kakak akan membangun mahligai rumah tangga sama Mama? Bukannya Kakak akan bahagia?" tanya Bintang, menahan deraian air mata yang siap menetes kapan saja.
"Tapi ..."
"Udah, Kak Awan! Cukup! Lupain Bintang! Jangan muncul di hadapan Bintang lagi!" teriak Bintang kalap, tangannya meraih apa saja. Melemparkannya ke arah Awan, mantan pacarnya.
Gagal! Bintang gagal menahan laju air mata itu. Bintang menangis terisak-isak, Awan masih diam di tempatnya. Menyaksikan seberapa sakit gadis di depannya, tangan Awan mencoba meraih Bintang. Bintang tanpa segan menepis tangan itu, tangan yang dulu dia banggakan.
"Kata Putri, kamu kabur dari rumah? Kenapa?" tanya Awan, tak menyerah.
"Kenapa, Kakak nggak tanya Putri aja?"
Gadis itu memalingkan wajahnya, enggan menatap lelaki jangkung yang kerap disapa Awan.
"Putri bilang, tak tahu. Bintang, kenapa kamu begitu kasar? Apakah sesakit itu? Coba kamu belajar dariku, aku telah melupakanmu. Bukankah lebih baik mengikhlaskan?"
Mata Bintang mengarah tepat di manik Awan, menantang cowok itu. Menatapnya penuh kebencian, kenangan bersama Awan mendadak seperti kaset rusak. Berputar-putar di dalam pikirannya.
"Lupakan tentang kenangan kita, Bintang. Ikhlaskan aku, aku akan bahagia bersama Mamamu. Jangan mengingatku lagi, buang segala rasa tentangku," lanjut Awan.
Bintang mengumpat dalam hati, tak menyangka Awan akan berbicara seperti itu tepat di depannya.
"Apa, Kak? Lupakan? Ikhlaskan? Apa Kakak berhak mengucapkan sederet kalimat itu? Kakak nggak berhak mengurusi hidup aku, buat aku semakin terluka, semakin sakit."
Bintang tertawa, sambil menangis.
"Mudah saja, ya? Berbicara seakan-akan tak ada beban seperti itu, mudah ya, Kak? Saking mudahnya, aku tak sadar sejauh itu dan sedalam itu rasaku terhadap Kakak!"
Lagi, Bintang tertawa sinis. Menertawakan dirinya sendiri.
"Mudah saja, Kak. Ikhlasin Kakak, lupakan Kakak. Lalu bahagia bersama yang lain, mudah banget. Undangan Kakak aja baru dikasi semalam, terus sekarang? Kakak minta aku buat lupain? Ikhlasin? Mudah banget ya, Kak? Hahahahah, pernah nggak, Kak? Kakak mikir, lukaku sama luka Kakak sama? Apa cintaku sama cinta Kakak sama? Apa terlihat semirip itu? Heh?"
Bintang menutup mulutnya, kembali terisak.
"Jangan hadir, jika hanya akan memberi darah! Kau telah mengotori kisah kita, aku susah payah membersihkannya!" seru Bintang dingin.
"Bukankah sudah tak ada lagi cerita? Untuk apa, Kakak masih di sini? Pergi!" teriak Bintang, lagi.
Perlahan, Awan melangkah, menjauhi Bintang. Bintang diam, enggan menyaksikan punggung Awan seperti biasanya. Hatinya terlalu sakit untuk melakukan itu semua, apakah cinta memang sesakit ini? Tangan kecil Bintang memukul dadanya berkali-kali.
"Bintang, lupain aku. Aku bukanlah lelaki yang pantas kau cintai layaknya Adam dan Hawa ..."
Bintang meletakkan tangannya di telinga, enggan mendengarkan ucapan Awan, lagi.
"... aku memang pantas kau cintai, tapi sebagai Ayah dan Anaknya. Bukan sebagai lelaki dewasa!" lanjut Awan kemudian.
Kata-kata itu jelas sekali, walau Bintang telah menutup indera pendengarannya. Tetapi, kata itu masih terdengar amat jelas. Sangat-sangat jelas. Bintang menutup mulutnya, mata jernih Bintang membeliak tak percaya. Dengan fakta ini.
Perlahan Bintang menoleh, ke arah Awan. Memanggil lelaki yang telah jauh di depannya, sayang suaranya hilang entah ke mana. Bintang tertegun, air matanya masih menganak deras.
"Aku ... anak ... anak Kak Awan?" ulang Bintang, terpaku menatap nanar ke arah siluet Awan yang semakin jauh.
"Kak Awan ... Ayah kandung ... aku ...?"
Bintang berusaha berdiri, hendak mengejar langkah Awan. Gagal dia terjatuh, kembali gadis berambut coklat terang itu terisak-isak. Kecewa dengan seluruh jalan hidupnya. Apakah hidup memang sebercanda ini? Mengapa dia harus jatuh cinta kepada Ayah kandungnya sendiri?
"Hiks ... hiks ... hiks ...."
Bintang menangis, meraung-raung di ujung koridor. Disaksikan burung gereja di atap koridor.
•~•
Hati Bintang jauh lebih baik, matanya sakit. Sepertinya dia menangis terlalu lama tadi, hati dan pikirannya enggan sejalan. Dia merasa seperti orang ling lung, gontai Bintang berjalan menjauhi koridor. Tak ada semangat untuk mengejar Awan lagi, Bintang juga enggan menginjakkan kaki di pelataran rumah Mama. Dia enggan mengakui kekalahannya.
Siang ini awan begitu cerah, bertolak belakang dengan kondisi hatinya. Kemarin Bintang terlalu semangat, berkencan dengan Awan di pasar malam. Dia terlalu bahagia, mengiyakan ajakan Awan yang entah mengapa hari itu tak begitu sibuk seperti biasa.
Sekarang, dia mengerti. Mengapa Awan tak begitu sibuk seperti biasa, itu karena kepentingan sialan itu. Ah, sial gadis itu kembali mengumpat dalam hati. Seketika dunianya terasa suram, tanpa Awan di sisinya.
"Aww."
Spontan Bintang mengaduh, darah menetes dari jarinya. Bintang menatap nyalang orang di depannya, orang itu menarik tangan Bintang, menyeretnya kasar. Semenit kemudian, teriakan Bintang menggema di koridor.
"Arghh ... tolong ...."
Orang itu berusaha mendekap mulut Bintang, secepat mungkin Bintang mengelak.
"TOLONG! TOLONGIN GUE!" teriak Bintang lebih keras.
.
.
.
.
.
.Happy Reading
Mila-chan🐾