Dia Awan

16 5 1
                                    

Bukankah kita dapat bersama? Kau hanya perlu memberiku kepastian, agar aku setia di dekatmu. Apakah takdir sebercanda itu?

-Bintang
.
.
.
.

"Ya ampun, Bintang."

Reyna memeluk tubuhku, entah kenapa air mata ini kembali turun. Mengingat seluruh kejadian itu.

Ini sudah malam, hampir dini hari malahan. Aku enggan pulang ke rumah, akhirnya aku pergi ke rumah Reyna.

"Lu kenapa lagi? Mama lu rese?"

Aku tak menjawab, hanya diam. Tangisan dan isakanku masih terdengar. Reyna membawaku ke kamar. Membuatkan coklat hangat, dan memilih diam. Menungguku bercerita. Dengan suara bindeng dan tersendat-sendat. Aku menceritakan semuanya tanpa ditutupi.

•~•

Tidak ada kata yang pantas selain cinta, ketika menyebut namanya yang indah. Awan, mendatangkan kesejukan. Pun bisa mendatangkan hujan. Lelaki yang selalu aku sebut dalam do'a, dari setiap irisan luka. Dialah penyembuhnya. Setiap aku dimarahin Mama, setiap aku dipojokkan Putri. Tetapi, tak semua masalah aku bagi berdua bersamanya. Entahlah aku takut dia selalu memikirkanku, aku terlalu takut memberatkannya.

"Bintang, mikirin apa?"

"Nggak kok, Kak."

Aku memberinya senyuman termanis yang aku punya, hari ini kami pergi ke pasar malam. Kami berjanji akan menghabiskan malam ini bersama.

"Kamu masih dengerin omongan tetangga, ya?" tanya cowok itu lagi.

Aku menatap mata Kak Awan, matanya hitam legam. Persis warna mataku. Pikiranku jadi terdoktrin, bahwa Kak Awan memanglah kerabatku.

"Emang kamu lebih percaya mereka? Dari pada aku?"

Aku menatap alas kali, tak berani menantang mata kelamnya. Yeah, aku tahu ini terlalu naif untuk diakui apalagi terakui. Aku memang mempercayai omongan burung itu, dibanding lelaki yang aku cintai.

"Bintang, jawab," tuntut Kak Awan.

"Ka ... katanya, Kakak mau nikah sama Mama."

Suaraku seperti luruh karena angin, hilang terbawa euforia. Kepalaku pegal, menunduk terus, tapi aku pun tak berani mendongak. Yeah, aku memang terlalu pengecut.

Kak Awan melepas genggaman tangannya, aku spontan mendongak. Mencari kebenaran dari per suku kata yang terlontar dari bibir ini.

"Untuk itu ...."

Aku menunggu, dalam hati aku sungguh takut. Iya aku takut, takut dengan sebuah kenyataan. Bahwa semua itu benar adanya, air mata memenuhi mataku. Siap luruh kapan pun.

" ... iya, aku bakal nikahin Mama kamu besok."

Terasa, kilat menyambar. Pas di dalam hatiku, sakit banget. Aku sampai tak kuat menopang bobot tubuhku sendiri.

"Maaf, Bintang."

"Kenapa?"

Suaraku seakan berasal dari jurang yang amat dalam, menggema, mengisi setiap lekuk pikiranku. Aku benci, lelaki yang berdiri kokoh di depanku. Aku membenci lelaki yang katanya mencintaiku.

"Karena, aku mencintai Mamamu."

Empat kata itu terlontar sebegitu santainya, aku masih bergeming di tempat. Aku bingung, harus merespon dan berkomentar apa. Sungguh, aku bingung.

SiriusWhere stories live. Discover now